Senin, 31 Mei 2010

Sabtu, 29 Mei 2010

Bimbingan bagi Para Pemuda yang Ingin Kembali ke Jalan Allah

Bimbingan bagi Para Pemuda yang Ingin Kembali ke Jalan Allah

Oleh: Asy Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Soal:
Saya adalah seorang pemuda yang ingin bertaubat, kembali ke jalan Allah. Apa yang harus saya lakukan agar bisa menjauh dari perbuatan maksiat?

Jawab:
Bertaubat kepada Allah adalah perkara yang wajib, demikian juga bersegera dalam taubat adalah perkara yang wajib. Tidak boleh mengakhirkan taubat sampai terlambat, karena seseorang tidak tahu kapan maut menjemputnya.

Allah ta’ala berfirman,

{إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوَءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُوْلَـئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ}

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kebodohan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang taubatnya diterima Allah.” (An Nisa: 17)

Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

(أتبِعِ السَّيِّئة الحسنة تَمحُها)
“Ikutilah kejelekan dengan kebaikan, dia akan menghapuskan kejelekan itu.” (HR. At Tirmidzi dalam Sunannya [6/204], dari hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)

Mengikuti kebaikan di sini maknanya adalah bersegera, karena termasuk dari adab taubat adalah bersegera dan tidak mengakhirkannya.

Demikian juga jika Anda bertaubat kepada Allah, hendaknya Anda menjauhi sebab-sebab yang dapat menjerumuskan diri Anda ke dalam perbuatan dosa. Jauhilah teman yang jelek, jauhi teman duduk yang jelek, karena merekalah yang menyebabkan Anda terjerumus ke dalam dosa-dosa.

Pergilah Anda kepada orang-orang yang shalih, duduklah bersama mereka, hadirlah di majelis-majelis ilmu, bersegera datang ke masjid, memperbanyak membaca Al Qur’an dan berzikir kepada Allah subhanahu wata’ala. Inilah yang sepantasnya diperbuat oleh seseorang yang bertaubat kepada Allah: menjauhi segala sebab kemaksiatan, dan mendekatkan diri dengan perkara-perkara yang baik serta sebab-sebab keta’atan.

(Sumber: Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Al Fauzan, Jilid I, no 168)

Sepuluh Perkara yang Tidak Bemanfaat

Sepuluh Perkara yang Tidak Bemanfaat
Oleh:
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Ada sepuluh perkara yang tidak akan membawa manfaat sama sekali yaitu :

1. Ilmu yang tidak diamalkan.

2. Amal yang tidak ikhlas.

3. Harta yang tidak dipersembahkan untuk akhirat.

4. Hati yang tidak mencintai Allooh.

5. Badan yang tidak taat dan tidak mengabdi kepada Allooh.

6. Kecintaan yang tidak diridhoi oleh orang yang dicintai dan tidak menjalankan
perintah-perintah Allooh.

7. Waktu yang terbuang, yang tidak digunakan untuk mengetahui Allooh dan
medekatkan diri kepada-Nya.

8. Pemikiran yang berputar-putar pada sesuatu yang tidak bermanfaat.

9. Pengabdian yang tidak mendekatkan diri kepada-Nya, tidak mendatangkan
kemaslahatan dunia.

10. Rasa takut dan harapan yang ditujukkan kepada orang
yang nasibnya di tangan Allooh, sehingga dia sendiri tidak
memiliki untuk dirinya bahaya, manfaat, kematian,
kehidupan dan tempat kembali.
--------------------
Sumber: Kitab Al-Fawa’id

Rabu, 26 Mei 2010

Pandangan Syekh Ibn Baz Tentang Jam'iyyah

Pandangan Syekh Ibn Baz Tentang Jam'iyyah

Syaikh Ibn Baz pernah ditanya dengan pertanyaan yang panjang intinya:

"Kami sekumpulan dai dan santri di Sudan pengikut manhaj salaf shalih, tujuan kami adalah mencari ilmu syar'I dan menyebarkannya di tengah-tengah masyarakat luas, dakwah mengajak ke jalan Allah sesuai dengan pemahaman Salaf di berbagai markaz (pusat kegiatan/centre) di seluruh pelosok negeri. Termasuk tujuan kami adalah mengajarkan manusia perkara agama mereka dalam bidang tauhid, rukun Islam, serta memberantas syirik dab bid’ah. Karenanya kami saling bahu membahu dengan semua pihak yang bergerak di bidang dakwah yang sesuai dengan kebenaran, kami saling membantu secara syar'I, jauh dari hizbiyah (kegolongan), atau fanatik terhadap tokoh dan aturan, atau menerapkan konsep wala' dan bara' atas dasar itu.
Sebaliknya yang kami lakukan adalah cinta di jalan Allah dan membenci karena Nya, kami berwala' karena Allah dan memusuhi karena Nya berdasarkan pemahaman salafus sholih. Kami mendirikan pusat-pusat kegiatan taklim, masjid, pesantren, halaqah tahfidzul Qur'an, perpustakaan umum, menyebarkan kitab-kitab dan tulisan ringkas yang ilmiah dan bermanfaat, juga kaset-kaset agama, hijab serta mengikat umat dengan ulama'. Atas dasar pemikiran inilah kami mendirikan sebuah lembaga salafiyah ilmiah yang menghimpun sejumlah alumnus Universitas Islam di Madinah, Saudi Arabia, dengan nama Jam'iyah al-Kitab was sunnah al-Khairiyah yang berpusat di Khortum.
Apakah ada larangan syar'i tentang upaya dalam rangka mewujudkan cita-cita yang telah kami sebutkan melalui Lembaga jam’iyyah tersebut tanpa adanya keharusan untuk menjalankan tanzhim jama'ah tertentu di Sudan - karena memang kami memiliki beberapa koreksi penting atas mereka – dengan tetap menjaga dan memelihara ukhuwwah dan saling tolong menolong dengan mereka dalam kebenaran? Berikanlah fatwa kepada kami semoga Allah membalas kebaikan anda.

Syaikh Ibn Baz menjawab:

Manhaj atau metodologi yang anda sebutkan di atas dalam dakwah kepada Allah, serta mengarahkan manusian kepada kebaikan dengan berpijak kepada petunjuk al-Qur'an dan Sunnah berdasarkan pemahaman salafus sholih, maka kami wasiatkan kepada anda untuk komitmen dan istiqamah di atasnya. Juga kami wasiatkan untuk bahu membahu bersama saudara-saudara anda para da'i di Sudan dan lainnya dalam hal yang sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah, juga yang diamalkan oleh ulama salaf dalam menjelaskan tauhid beserta dalil-dalilnya, memperingatkan dari kesyirikan dan semua sarananya, juga memperingatkan manusia dari bid'ah dan beragam kemaksiatan dengan dalil-dalil syar'I serta uslub yang baik. Sebagai pengamalan firman Allah:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (٣٣)
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS. Fushshilat:33)
Dan firman Allah:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)
Katakanlah:"Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf:108)
Juga firman Allah:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (١٢٥)
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Nahl:125)
Juga sabda Rasulullah Sholallohu 'alaihi wa sallam :
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
"Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya seperti pahala orang yang mengamalkannya." (HR. Muslim).
Juga sabda Rasulullah Sholallohu 'alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib Rodiallohu 'anhu , ketika mengutusnya ke Khaibar untuk mendakwahi orang-orang Yahudi dan Nashrani, dan memberitahukan kepada mereka apa yang diwajibkan atas mereka dari hak-hak Allah:
فَوَاللهِ لأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمُرِ النَّعَم
"Demi Allah, jika Allah memberi petunjuk kepada satu orang saja lantaran kamu, tentu hal itu lebih baik bagimu dari pada onta merah". Hadits yang disepakati keshahihannya.
Ayat dan hadits yang berbicara dalam masalah ini cukup banyak. Kami mohon kepada Allah agar memberikan petunjuk dan pertolongan kepada anda, dan menjadikan kami serta anda sebagai para pemberi hidayah yang mendapatkan petunjuk, sesungguhnya Allah adalah Mahamulia dan dermawan, semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, juga keluarga dan para sahabatnya."
(Majmu' al-Fatawa VIII/435)

Akhirnya, kita bisa menarik kesimpulan bahwasanya amal jama'i adalah salah satu bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan dan ketakwaan, saling bahu membahu dalam membela kebenaran, karena itu disyariatkan dan dianjurkan berdasarkan keumuman dalil yang menunjukkan fadhilah berjama'ah, persatuan dan saling tolong menolong, selama hal itu tidak membukan pintu untuk menciptakan kegolongan, fanatisme terhadap tokoh dan lambang, atau menyebabkan menolak kebenaran dan mengingkarinya ketika hal itu datang dari selain anggota. Wallahu a'lam.

Selasa, 25 Mei 2010

Agar Anda Dicintai Allooh.........!

Agar Anda Dicintai Allooh.........!

10 Kiat Dari Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyzh

1. Membaca Al-Qur’an dengan Memahami dan Merenungkan isinya.

2. Mendekatkan Diri pada Allooh Ta’ala dengan Amal Sunnah Setelah Fardhu.

3. Dzikir dengan Lisan, Hati dan Perbuatan.

4. Mencitai Allooh Ta’ala di Atas Segalanya.

5. Mencintai Allooh dengan Memehami Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan Perbuatan Alloo.

6. Mengakui Karunia dan Nikmat Allooh Ta’ala Lahir dan Batin.

7. Memiliki Hati yang Luluh dan Khusyu di Hadapan Allooh.

8. Menyendiri Saat Bermunajat dan Beribadah Kepada Allooh Ta’ala dengan Hati yang Khusyu dan Penuh Adab.

9. Bergaul dengan Orang yang Sungguh-sungguh Mencintai Allooh.

10. Meruntuhkan Tembok Penghalang Antara Hati dengan Allooh Ta’ala.

Sebab-sebab Bertambahnya Kimanan

Sebab-sebab Bertambahnya Kimanan

1. Menuntut Ilmu yang Bermanfaat yang Bersumber dari Kitabullooh dan Sunnah Rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.

2. Membaca al-Qur’anul Karim dan Merenunginya.

3. Mengenal Nama-nama Allooh yang indah dan Sifat-sifat-Nya yang Agung

4. Merenungi Perjalanan Hidup Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang Mulia.

5. Merenungi Keindahan Agama Islam.

6. Membaca Perjalanan Hidup Salafush Sholeh.

7. Merenungi Ayat-ayat Allooh yang ada di Alam Semesta, seperti: Bumi, Udara, Lautan, Malam dan Siang, Matahari dan Bulan, Hewan, Sistem yang Allooh terepkan di alam semesta, dan Diri Manusia.

8. Giat Melakukan Amal Shaleh dengan Ikhlas ( Semata-mata Mengharapkan Wajah Allooh ) serta Memperbanyak dan Melakukannya dengan Terus-menerus. Baik amalan Hati, Lisan dan Amalan Anggota Badan.

Sebab-sebab Berkurangnya Keimanan

1. Sebab-sebab Internal ( Faktor dari Dalam ) misalnya:

a. Bodah, yaitu Lawan dari Ilmu, Kebodohan identik dengan dosa.

b. Lalai, Berpaling dan Lupa.

c. Melakukan Kemaksiatan dan Perbuatan Dosa.

d. Jiwa yang Memerintakan Kepada Kejelekan.

2. Sebab-sebab Eksternal ( Faktor-faktor dari Luar ) misalnya:
a. Syaitan.
b. Dunia dan Fitnahnya.
c. Teman-teman yang jahat.

Goncangan Kehidupan

Goncangan Kehidupan
Oleh:
Syekh Mamduh Farhan al-Buhairhi
Sesungguhnya manusia akan melalui kehidupannya dengan banyak
Percobaan, sebagiaanya berupa goncangan-gocangan, yang karnanya
dia akan banya merasakan sakit.
- Di saat engkau menghadapi kemelut jiwa dan tidak mendapatkan teman di sisimu........goncangan....
- Di saat engkau tafsirkan kalimat dan perbuatanmu sebagai kalimat seorang pendendam.......goncangan...
- Di saat bertahun-tahun engkau tidak bisa merealisasikan angan-anganmu.......goncangan...
- Di saat seluruh apa yang telah kamu bangun pergi bersama hembusan angin bak fatamaorgana.........goncangan...
- Di saat kamu dikhianati oleh orang yang berasal darimu dan hidup ditengah-tengahmu........goncangan...
- Di saat orang yang paling dekat denganmu meninggal dunia......goncangan...
- Di saat engkau bertemu denagan seorang teman karib yang lama tidak bertemu, namun dia tidak mengingatmu......goncangan...
- Di saat engkau dicela, dan ternyata engkau dapati sang pencela adalah saudaramu sendiri........goncangan...
- Di saat orang yang kamu cintai berterus terang bahwa engkau tidak bernilai baginya sedekitpun........goncangan...
- Di saat engkau membongkar bahwa sumber kenistaan atas dirmu ternyata adalah dari orang yang paling dekat denganmu..... goncangan...
Sesungguhnya, segala goncangan ini, masih mungkin bagi jiwamu untuk memikul beban beratnya.........namun goncangan yang hakiki adalah.........
Apa yang akan terjadi.......???
Yaitu disaat engkau dapati dirimu seorang diri di dalam kubur tanpa seorangpun..........
Engkau telah meninggalkan semua orang yang dulu bersamamu.......
Serta tidak ada satupun yang tertinggal bersamamu kecuali amalmu yang shalih...........
Dan goncangan yang terbesar adalah saat engkau berdiri di hadapan Allooh Ta’ala tanpa amal shalih..............
Tanpa shalat.......
Tanpa dzikir kepada Allooh..........
Tanpa berjihad melawan hawa nafsu.......
Maka jadilah kamu sebagai orang yang bersiap-siap dalam menghadapi goncangan abadi yang tempat kembalimu akan tetap disana......
Apakah menuju satu taman dari taman surga ataukah satu liang dari
liang-liang neraka..?
Ya Allooh ......barikanlah rahmat kepada kami, dan jangan sekai-kali mematikan kami kecuali Engkau ridho kepada kami.
Wahai Robb dzat yang akan menolong orang-orang yang lemah, kami bermunajat kapda-Mu, siapakah penolong bagi kami selain-Mu.
Ya Allooh.......rahmatilah kami jika kami dipikul diatas pudak-pundak para pelayat.
Ya Allooh.......rahmatilah kami jika kami telah ditaburi tanah, kuburanpun ditutup diatas kami.
Ya Allooh.......sesungguhnya Engkau memiliki para kekasih yang akan Engkau masukkan kedalam surga tanpa hisab dan tanpa adzab.
Maka jadikanlah kami dan orang-orang yang mebaca tulisan ini termasuk golongan mereka juga. Amin.....ya mujibas sailin.

Minggu, 23 Mei 2010

Hasihat-nasihat Para Ulama Salaf

Hasihat-nasihat Para Ulama Salaf

Kewajiban Mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:
“Sederhana dalam As-Sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh di dalam bid’ah.” (Ibnu Nashr, 30, Al-Lalikai 1/88 no. 114, dan Al-Ibanah 1/320 no. 161)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
“Tetaplah kamu beristiqamah dan berpegang dengan atsar serta jauhilah bid’ah.” (Al-I’tisham, 1/112)
Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata:
Ulama kita yang terdahulu selalu mengatakan: “Berpegang dengan As-Sunnah adalah keselamatan. Ilmu itu tercabut dengan segera, maka tegaknya ilmu adalah kekokohan Islam sedangkan dengan perginya para ulama akan hilang pula semua itu (ilmu dan agama).” (Al-Lalikai 1/94 no. 136 dan Ad-Darimi, 1/58 no. 16)
Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:
“Berhati-hatilah kamu, jangan sampai menulis masalah apapun dari ahli ahwa’, sedikit atau pun banyak. Berpeganglah dengan Ahlul Atsar dan Ahlus Sunnah.” (As-Siyar, 11/231)
Al-Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata:
“Berpeganglah dengan atsar Salafus Shalih meskipun seluruh manusia menolakmu dan jauhilah pendapat orang-orang (selain mereka) meskipun mereka menghiasi perkataannya terhadapmu.” (Asy-Syari’ah hal. 63)
(Lammuddurril Mantsur minal Qaulil Ma`tsur, karya Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al-Haritsi)
Introspeksi Diri
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata:
“Sesungguhnya seorang mukmin adalah penanggung jawab atas dirinya, (karenanya hendaknya ia senantiasa) mengintrospeksi diri kerena Allah Subhanahu wa ta’ala semata.”
“Adalah hisab (perhitungan amal) di Yaumul Qiyamah nanti akan terasa lebih ringan bagi suatu kaum yang (terbiasa) mengintrospeksi diri mereka selama masih di dunia, dan sungguh hisab tersebut akan menjadi perkara yang sangat memberatkan bagi kaum yang menjadikan masalah ini sebagai sesuatu yang tidak diperhitungkan.”
“Sesungguhnya seorang mukmin (apabila) dikejutkan oleh sesuatu yang dikaguminya maka dia pun berbisik: ‘Demi Allah, sungguh aku benar-benar sangat menginginkanmu, dan sungguh kamulah yang sangat aku butuhkan. Akan tetapi demi Allah, tiada (alasan syar’i) yang dapat menyampaikanku kepadamu, maka menjauhlah dariku sejauh-jauhnya. Ada yang menghalangi antara aku denganmu’.”
“Dan (jika) tanpa sengaja dia melakukan sesuatu yang melampaui batas, segera dia kembalikan pada dirinya sendiri sembari berucap: ‘Apa yang aku maukan dengan ini semua, ada apa denganku dan dengan ini? Demi Allah, tidak ada udzur (alasan) bagiku untuk melakukannya, dan demi Allah aku tidak akan mengulangi lagi selama-lamanya, insya Allah’.”
“Sesungguhnya seorang mukmin adalah suatu kaum yang berpegang erat kepada Al Qur`an dan memaksa amalan-amalannya agar sesuai dengan Al Qur`an serta berpaling dari (hal-hal) yang dapat membinasakan diri mereka.”
“Sesungguhnya seorang mukmin di dunia ini bagaikan tawanan yang (selalu) berusaha untuk terlepas dari perbudakan. Dia tidak pernah merasa aman dari sesuatupun hingga dia menghadap Allah, karena dia mengetahui bahwa dirinya akan dimintai pertanggungjawaban atas semua itu.”
“Seorang hamba akan senantiasa dalam kebaikan selama dia memiliki penasehat dari dalam dirinya sendiri. Dan mengintrospeksi diri merupakan perkara yang paling diutamakan.”
(Mawa’izh Lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 39, 40, 41)
Cinta Dunia Merupakan Dosa Besar
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
“Tidaklah aku merasa heran terhadap sesuatu seperti keherananku atas orang yang tidak menganggap cinta dunia sebagai bagian dari dosa besar.
Demi Allah! Sungguh, mencintainya benar-benar termasuk dosa yang terbesar. Dan tidaklah dosa-dosa menjadi bercabang-cabang melainkan karena cinta dunia. Bukankah sebab disembahnya patung-patung serta dimaksiatinya Ar-Rahman tak lain karena cinta dunia dan lebih mengutamakannya? (Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 138)
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
“Telah sampai kepadaku bahwasanya akan datang satu masa kepada umat manusia di mana pada masa itu hati-hati manusia dipenuhi oleh kecintaan terhadap dunia, sehingga hati-hati tersebut tidak dapat dimasuki rasa takut terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan itu dapat engkau ketahui apabila engkau memenuhi sebuah kantong kulit dengan sesuatu hingga penuh, kemudian engkau bermaksud memasukkan barang lain ke dalamnya namun engkau tidak mendapati tempat untuknya.”
Beliau rahimahullahu berkata pula:
“Sungguh aku benar-benar dapat mengenali kecintaan seseorang terhadap dunia dari (cara) penghormatannya kepada ahli dunia.”
(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 120)
Kejelekan-kejelekan Harta
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
‘Isa bin Maryam ‘alaihissalam bersabda: “Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan, dan pada harta terdapat penyakit yang sangat banyak.”
Beliau ditanya: “Wahai ruh (ciptaan) Allah, apa penyakit-penyakitnya?”
Beliau menjawab: “Tidak ditunaikan haknya.”
Mereka menukas: “Jika haknya sudah ditunaikan?”
Beliau menjawab: “Tidak selamat dari membanggakannya dan menyombongkannya.”
Mereka menimpali: “Jika selamat dari bangga dan sombong?”
Beliau menjawab: “Memperindah dan mempermegahnya akan menyibukkan dari dzikrullah (mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala).”
(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 81)
Beliau rahimahullahu berkata:
“Kelebihan dunia adalah kekejian di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat.”
Beliau ditanya: “Apa yang dimaksud dengan kelebihan dunia?”
Beliau menjawab: “Yakni engkau memiliki kelebihan pakaian sedangkan saudaramu telanjang; dan engkau memiliki kelebihan sepatu sementara saudaramu tidak memiliki alas kaki.”
(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 76)
Sabar Saat Mendapat Musibah
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata:
“Kebaikan yang tiada kejelekan padanya adalah bersyukur ketika sehat wal afiat, serta bersabar ketika diuji dengan musibah. Betapa banyak manusia yang dianugerahi berbagai kenikmatan namun tiada mensyukurinya. Dan betapa banyak manusia yang ditimpa suatu musibah akan tetapi tidak bersabar atasnya.” (Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 158)
Beliau rahimahullahu juga berkata:
“Tidaklah seorang hamba menahan sesuatu yang lebih besar daripada menahan al-hilm (kesantunan) di kala marah dan menahan kesabaran ketika ditimpa musibah.” (Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 62)
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
“Tiga perkara yang merupakan bagian dari kesabaran; engkau tidak menceritakan musibah yang tengah menimpamu, tidak pula sakit yang engkau derita, serta tidak merekomendasikan dirimu sendiri.” (Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 81)
Beragam Tujuan dalam Menuntut Ilmu
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Janganlah kalian mempelajari ilmu karena tiga hal: (1) dalam rangka debat kusir dengan orang-orang bodoh, (2) untuk mendebat para ulama, atau (3) memalingkan wajah-wajah manusia ke arah kalian. Carilah apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ucapan dan perbuatan kalian. Karena, sesungguhnya itulah yang kekal abadi, sedangkan yang selain itu akan hilang dan pergi.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/45)
Ishaq ibnu Ath-Thiba’ rahimahullahu berkata: Aku mendengar Hammad bin Salamah rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mencari (ilmu, -pen.) hadits untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuat makar atasnya.”
Waki’ rahimahullahu berkata:
“Tidaklah kita hidup melainkan dalam suatu tutupan. Andaikata tutupan tersebut disingkap, niscaya akan memperlihatkan suatu perkara yang besar, yakni kejujuran niat.”
Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata:
“Menuntut ilmu yang merupakan perkara yang wajib dan sunnah yang sangat ditekankan, namun terkadang menjadi sesuatu yang tercela pada sebagian orang. Seperti halnya seseorang yang menimba ilmu agar dapat berjalan bersama (disetarakan, -pen.) dengan para ulama, atau supaya dapat mendebat kusir orang-orang yang bodoh, atau untuk memalingkan mata manusia ke arahnya, atau supaya diagungkan dan dikedepankan, atau dalam rangka meraih dunia, harta, kedudukan dan jabatan yang tinggi. Ini semua merupakan salah satu dari tiga golongan manusia yang api neraka dinyalakan (sebagai balasan, -pen.) bagi mereka.”
(An-Nubadz fi Adabi Thalabil ‘Ilmi, hal. 10-11, Penulis : Al-Ustadz Zainul Arifin
Larangan Berfatwa Tanpa Bimbingan Salafush Shalih
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:
“Siapa saja yang mengatakan sesuatu dengan hawa nafsunya, yang tidak ada seorang imampun yang mendahuluinya dalam permasalahan tersebut, baik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun para sahabat beliau, maka sungguh dia telah mengadakan perkara baru dalam Islam. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Barangsiapa yang mengada-ada atau membuat-buat perkara baru dalam Islam maka baginya laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala, para malaikat, dan manusia seluruhnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima infaq dan tebusan apapun darinya’.”
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata kepada sebagian muridnya:
“Hati-hati engkau, (jangan, -pen.) mengucapkan satu masalah pun (dalam agama pen.) yang engkau tidak memiliki imam (salaf, -pen.) dalam masalah tersebut.”
Beliau rahimahullahu juga berkata dalam riwayat Al-Maimuni:
“Barangsiapa mengatakan sesuatu yang tidak ada imam atasnya, aku khawatir dia akan salah.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata:
“Adapun para imam dan para ulama ahlul hadits, sungguh mereka semua mengikuti hadits yang shahih apa adanya bila hadits tersebut diamalkan oleh para sahabat, generasi sesudah mereka (tabi’in) atau sekelompok dari mereka. Adapun sesuatu yang disepakati oleh salafush shalih untuk ditinggalkan maka tidak boleh dikerjakan. Karena sesungguhnya tidaklah mereka meninggalkannya melainkan atas dasar ilmu bahwa perkara tersebut tidak (pantas, -pen.) dikerjakan.”
(An-Nubadz Fi Adabi Thalabil ‘Ilmi, hal. 113-115, Penulis : Al-Ustadz Zainul Arifin )
Sebab Hilangnya Agama
Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Jangan ada dari kalian taklid kepada siapapun dalam perkara agama sehingga bila ia beriman (kamu) ikut beriman dan bila ia kafir (kamu) ikut pula kafir. Jika kamu ingin berteladan, ambillah contoh orang-orang yang telah mati, sebab yang masih hidup tidak aman dari fitnah”.
Abdullah bin Ad-Dailamy berkata:
“Sebab pertama hilangnya agama ini adalah ditinggalkannya As Sunnah (ajaran Nabi). Agama ini akan hilang Sunah demi Sunnah sebagaimana lepasnya tali seutas demi seutas”.
Abdullah bin ‘Athiyah berkata:
“Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah dalam agama kecuali Allah akan mencabut dari mereka satu Sunnah yang semisalnya. Dan Sunnah itu tidak akan kembali kepada mereka sampai hari kiamat”.
Az-Zuhri berkata:
“Ulama kami yang terdahulu selalu mengingatkan bahwa berpegang teguh dengan As-Sunnah adalah keselamatan. Ilmu akan dicabut dengan segera. Tegaknya ilmu adalah kekokohan agama dan dunia sedangkan hilangnya ilmu maka hilang pula semuanya”.
Diambil dari kitab Lammudurul Mantsur Minal Qaulil Ma’tsur yang disusun oleh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsy.
Lakukanlah Hal-hal yang Bermanfaat
‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullahu berkata:
“Barangsiapa beranggapan perkataannya merupakan bagian dari perbuatannya (niscaya) menjadi sedikit perkataannya, kecuali dalam perkara yang bermanfaat baginya.”
‘Umar bin Qais Al-Mula’i rahimahullahu berkata:
“Sseorang melewati Luqman (Al-Hakim) di saat manusia berkerumun di sisinya. Orang tersebut berkata kepada Luqman: “Bukankah engkau dahulu budak bani Fulan?” Luqman menjawab: “Benar.”
Orang itu berkata lagi, “Engkau yang dulu menggembala (ternak) di sekitar gunung ini dan itu?” Luqman menjawab: “Benar.”
Orang itu bertanya lagi: “Lalu apa yang menyebabkanmu meraih kedudukan sebagaimana yang aku lihat ini?” Luqman menjawab: “Selalu jujur dalam berucap dan banyak berdiam dari perkara-perkara yang tiada berfaedah bagi diriku.”
Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu bahwasanya beliau berkata:
“Termasuk tanda-tanda berpalingnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dari seorang hamba adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kesibukannya dalam perkara-perkara yang tidak berguna bagi dirinya.”
Sahl At-Tustari rahimahullahu berkata:
“Barangsiapa (suka) berbicara mengenai permasalahan yang tidak ada manfaatnya niscaya diharamkan baginya kejujuran.”
Ma’ruf rahimahullahu berkata: “Pembicaraan seorang hamba tentang masalah-masalah yang tidak ada faedahnya merupakan kehinaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala (untuknya).”
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/290-294)
Orang Yang Tidak Boleh Diambil Ilmunya
Abdurrahman bin Mahdi rahimahullahu berkata:
“Ada tiga (golongan) yang tidak boleh diambil ilmunya, (yakni): (1) Seseorang yang tertuduh dengan kedustaan, (2) Ahlul bid’ah yang mengajak (manusia) kepada kebid’ahannya, dan (3) seseorang yang dirinya didominasi oleh keraguan serta kesalahan-kesalahan.”
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata:
“Tidak boleh seseorang mengambil ilmu dari empat (jenis manusia) dan boleh mengambilnya dari selain mereka (yaitu): (1) Ilmu tidak diambil dari orang-orang bodoh, (2) Tidak diambil dari pengekor hawa nafsu yang menyeru manusia kepada hawa nafsunya, (3) Tidak pula dari seorang pendusta yang biasa berdusta dalam pembicaraan-pembicaraan manusia meskipun tidak tertuduh berdusta pada hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (4) Tidak pula dari seorang syaikh yang memiliki keutamaan, keshalihan serta ahli ibadah tetapi dia tidak lagi mengetahui apa yang tengah dibicarakannya.” (n-Nubadz fi ‘Adab Thalabil ‘Ilmi, hal. 22-23)
Musibah
Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
“Menangislah kalian atas orang-orang yang ditimpa bencana. Jika dosa-dosa kalian lebih besar dari dosa-dosa mereka (yang ditimpa musibah, red), maka ada kemungkinan kalian bakal dihukum atas dosa-dosa yang telah kalian perbuat, sebagaimana mereka telah mendapat hukumannya, atau bahkan lebih dahsyat dari itu.”(Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal. 73)
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar menjanjikan adanya ujian bagi hamba-Nya yang beriman, sebagaimana seseorang berwasiat akan kebaikan pada keluarganya.”(Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal. 111)
“Tidak ada musibah yang lebih besar dari musibah yang menimpa kita, (di mana) salah seorang dari kita membaca Al-Qur’an malam dan siang akan tetapi tidak mengamalkannya, sedangkan semua itu adalah risalah-risalah dari Rabb kita untuk kita.” (Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal. 32)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Seorang mukmin itu berbeda dengan orang kafir dengan sebab dia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, membenarkan apa saja yang dikabarkan oleh para Rasul tersebut, menaati segala yang mereka perintahkan dan mengikuti apa saja yang diridhai dan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bukannya (pasrah) terhadap ketentuan dan takdir-Nya yang berupa kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan-kemaksiatan. Akan tetapi (hendaknya) dia ridha terhadap musibah yang menimpanya bukan terhadap perbuatan-perbuatan tercela yang telah dilakukannya. Maka terhadap dosa-dosanya, dia beristighfar (minta ampun) dan dengan musibah-musibah yang menimpanya dia bersabar.”
(Makarimul Akhlaq, Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyyah, hal. 281

Kunci-Kunci Kebaikan

Kunci-Kunci Kebaikan
Oleh: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Allooh telah menjadikan kunci sebagai pembuka bagi setiap perkara yang dituntut. Dia menjadikan kunci sholat adalah bersuci, sebagaimana sabda Nabi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
” Kunci sholat adalah bersuci.”
Dan kunci haji adalah ihram. Kunci kebajikan adalah kejujuran. Kunci surga adalah tauhid. Kunci ilmu adalah sikap yang baik dalam bertanya dan mendengar. Kunci pertolongan dan kemenangan adalah kesabaran. Kunci bertambahnya nikmat adalah syukur. Kunci kewalian adalah kecintaan dan dzikir. Kunci keberuntungan adalah taqwa. Kunci taufiq adalah raghbah ( rasa harap yang disertai dengan amalan ) dan rahbah ( rasa takut yang disertai dengan amalan ).
Kunci ijabah ( sambutan Allooh ) adalah do’a. Kunci cinta akhirat adalah zuhud terhadap dunia. Kunci iman adalah memikirkan perkara yang Allooh serukan untuk difikirkan oleh hamba-hambaNya. Kunci untuk menjumpai Allooh adalah ketundukan hati dan keselamatan hati untuk-Nya, ikhlas kepadaNya dalam cinta, benci, berbuat dan meninggalkan sesuatu. Kunci hidupnya hati adalah tadabbur ( memperhatikan dan merenungi ) Al-Qur’an, merendahkan diri waktu sahar ( waktu malam sebelum fajar ) dan meninggalkan dosa.

Kunci mendapatkan rahmat adalah berbuat ihsan dalam beribadah kepada al-Khaliq dan berusahan menberi manfaat kapada hamba-hambaNya. Kunci rezeki adalah usaha yang disertai dengan istiqhfar dan taqwa. Kunci kemuliaan adalah ketaat kepada Allooh dan Rasul-Nya. Kunci mempersiapkan diri untuk akhirat adalah memperpendek angan-angan. Dan kunci segala kebaikan adalah kecintaan kepada Allooh dan negeri akhirat. Sedangkan kunci segala keburukan adalah cinta dunia dan panjang angan-angan.
Ini adalah permasalahan agung yang merupakan permasalahan ilmu paling bermanfaat. Yaitu mengetahui kunci –kunci kebaikan dan keburukan. Apa yang beliau sebutkan di atas, tidaklah mencakup seluru kunci-kunci kebaikan. Meski demikian, perkataan itu cukup untuk memberikan gambaran kepada kita bahwa setiap kebaikan pasti ada kunci-kuncinya. Dan beliau juga menyebutkan perkara-perkara agung yang sangat dibutuhkan seorang muslim yang beriman.
• Kunci-kunci kabaikan yang disebutkan para ulama yang lain. Di antaranya:
a. Aun bin Abdillah Rahimahullah berkata,” perhatian seorang hamba terhadap dosanya akan mendorongnya untuk meninggalkan dosa itu. Dan menyesalannya atas dosa itu adalah kunci untuk bertaubat. Seorang hamba senantiasa memperhatikan dosa yang dilakukannya sehingga hal itu menjadi lebih bermanfaat baginya dari pada sebaian kebaikan-kabaikannya.
b. Sufyan bin Uyainah Rahimahullah berkata,” Tafaqqur adalah kunci rahmat. Tidakkah kamu lihat seseorang berfikir lalu bertaubat.
c. Al-Hasan Rahimahullah berkata,” Kunci lautan adalah perahu-perahu. Kunci bumi adalah jalan-jalan. Sedangkan kunci langit adalah doa’.
d. Sahl bin Abdillah Rahimahullah berkata,” Tinggalkan hawa nafsu adalah kunci surga, berdasarka firman Allooh Ta’ala:” Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Robb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” ( Qs.An-Naziat: 40-41 ).
e. Sufyan berkata” Dahulu dikatakan, diam yang lama adalah kunci ibadah.
f. Syaikhul islam berkata “ Maka kejujuran adalah kunci segala kabaikan, sebagiman dusta adalah kunci segala keburukan. Baliau juga berkata “ Doa’ adalah kunci kebaikan.”

Godaan Setan Pada Orang-Orang Sholeh

Godaan Setan Pada Orang-Orang
Sholeh
Oleh: DR.Abdullah Al-Khaathir

Uslub ( Metodologi ) Setan Dalam Menggoda Manusia

Setan menggunakan uslub yang bertahap dalam menyesatkan manusia, baik dalam materi ajakannya maupun dalam caranya.
Imam Ibnu Qayyim Rahimahullaah menyebutkan 6 tahapan dalam materi ajakan setan sebagai berikut :

1. Setan berusaha agar manusia menjadi kafir atau musyrik. Jika orang tersebut adalah islam, usahanya diturunkan ketahapan berikutnya.
2. Yaitu tahapan bid’ah ( mengada-ada suatu urusan dien ). Manusia dibuatnya untuk membuat dan menerapkan bid’ah. Jika orang tersebut termasuk Ahlusunnah, dimulailah tahapan ketiga.
3. Yaitu tahapan kabaair, maksiat berupa dosa-dosa besar. Jika orang tersebut dijaga Allooh Ta’ala dari melakukan dosa besar, setan tidak putus asa untuk terus menggoda.
4. Yaitu tahapan shaghaair, maksiat berupa dosa-dosa kacil. Jika orang tersebut terjaga juga dariNya, mulailah setan menyibukkan orang itu dengan uslub lain.
5. Yaitu setan minyibukkan manusia dengan hal-hal yang mubah, sehingga orang itu menghabiskan waktunya dalam hal mubah, tidak sibuk dalam hal yang berpahala, yang kita semua diperintahkan mengamalkannya.
6. Yaitu setan menyibukkan manusia dengan amal-amal yang mafdhul ( kurang utama ) sehingga lalai dari amal yang afdhal ( lebih utama ), yang lebih baik dari amal mafdhul tersebut. Misalnya seseorang disibukkan dengan perkara sunnah dari pada fardhu, maka sibuklah dia dengan yang disunnahkan dan meninggalkan yang difardhukan

Setan sangat bersungguh-sungguh dalam dakwahnya, dengan mengajak secara bertahap dalam materi ajakannya. Adapun dalam cara mengajaknya, maka setan itu majerumuskan manusia selangkah demi selangkah. Sebagaimana Allooh Ta’ala berfirman:” Makanlah dari apa yang dirizqikan Allooh kepada kalian, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” ( Q.s. Al-An’aam: 142 ).
Pada mulanya setan berusahan menggelincirkan manusia sedikit-demi sedikit, kemudia bertahap menuju tujuannya. Setan masuk pada siapapun dengan uslub yang cocok dengan jati dirinya.
• Setan masuk pada orang zihad ( sederhana ) dengan kezuhudannya.
• Masuk pada orang alim ( berilmu ) dengan melalui pintu ilmu
• Masuk pada orang jahil ( bodoh ) dengan kebodohannya pula.


Pintu-pintu Godaan Setan

Sesungguhnya tempat-tempat setan bisa masuk melancarkan godaannya sangatlah banyak, sulit untuk membatasinya. Kami akan menyebutkan sebagiannya saja, antara lain :

1. Mengadu domba sesama kaum muslimin dan menyebarkan buruk sangka ( suuzhzhaan ) satu sama lain.
Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim:” Sesungguhnya iblis telah putus asa untuk disembah oleh orang-orang sholeh, tetapi dia terus mengusahakan adu domba sesama mereka.”
Adapun buruk sangka, maka menjadi kebiasaan setan untuk membisikannya pada manusia. Suu-uzhzhan termasuk pintu masuk setan dengan membuat seseorang setiap kali mendengar perkataan lalu ia tafsirkan dengan penafsiran negatif.
2. Menghiasi bid’ah bagi manusia
Setan mendatangi manusia dengan mengatakan bahwa bid’ah itu sesuatu yang indah seraya mengatakan :” sesungguhnya manusia dizaman ini sudah meninggalkan ibadah dan sulit dikembalikannya. Mengapa kita tidak mengerjakan sebagian peribadahan lalu kita bagus-baguskan dengan tambahan dari kita agar manusia mau kembali beribdah.?: kadang-kadang setan mendatangi dengan cara penambahan terhadap ibadah yang ada dalam sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Lalu berkata, “ tambahan kabaikan tentu merupan kebaikan juga. Maka tambalah dalam sunnah tersebut suatu bentuk ibadah yang mirip dengan sunnah, atau sandarkan ibadah baru pada sunnah tersebut.”
Sebagian manusia lain didatangi dengan bujukan,” sesungguhnya manusia sudah jau dien ini, mengapa tidak kita buat hadits-hadits yang dapat menakut-nakuti mereka.?” Maka orang-orang mengarang hadits-hadits palsu yang di sandarkan pada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Sambil berdali,” kami memang berdusta, namun kami bukan berdusta dalam rangka membela baliau.?!”
Mereka berdusta membela Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.??!! Dikaranglah oleh mereka hadits untuk menakut-nakuti manusia dari naar, meberikan gambarannya pada manusia dengan cara-cara aneh. Demikian pula mereka menggambarkan jannah dengan cara aneh yang lain pula.!
Kita mengetahui bahwa ibadah itu tauqifiyyah, yaitu mengambilnya dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana petunjuk Allooh yang datang pada Beliau, tidak boleh kita tambahi atau kurangi atau kita ubah-ubah sekendak kita. Kelakuan seperti yang mereka lakukan itu hanyalah bid’ah dari karangan syaitan.!!
3. Membesar-besarkan satu aspek atas lainnya.
• Pada tataran individu
• Kadang seseorang terjatuh pada banyak dosa-dosa dan maksiat, namun dia tetap sholat sebagai alasan penutup kekurangannya itu. Dia berdalih bahwa sholat adalah ‘imaadud-dien (tiang agama ), yang pertama kali dihisab di hari perhitungan, Dia menjadikan sholat sebagai sesuatu yang paling agung, dibesar-besarkannya urusan sholat hanya untuk menghalalkan kekurangannya dalam ibadah-ibadahlain. Benar bahwa sholat adalah ‘imaadud-dien, namun bukan keseluruhan kandungan dien ini.! Setanlah yang mendatangi orang ini untuk menghalalkan kekurangan dirinya.
• Kdang setan pun mendatangi seorang manusia lain untuk mengatkan,” Dien ini adalah muamalah ( pergaulan/akhlak yang baik ).....yang paling penting kamu baik terhadap manusia, jangan mendustai atau menipu mereka,walaupun kamu tidak sholat.
• Kadang didatangi seseorang dengan bujukan,” yang paling penting adalah berniat baik.! Asal aku lalui waktu malamku tanpa menyipan dengki dan kebencian pada manusia, cukuplah sudah.” Akhirnya orang tersebut meninggalkan banyak amal-amal sholeh, mencupkan diri dengan niat baik saja.!
• Pada Tataran Jama’iy ( Komunal )
Tampak jelas masalah ini dalam tataran kelompok ketika kamu lihat segolongan orang berkata:
• Hal terpenting adalah kita harus mengenal keadaan riil kaum muslimin, dan musuh-musuh mereka. Dengan demikian hal paling penting adalah masala-masala politis. Kemudia jika kamu tanya tentang islam, mereka tidak faham sedikitpun. Dan masih banyak contohnya.
4. Menundah-nundah dan Tergesa-gesa
Tergesa-gesa dan menundah-nundah adalah permasuk pintu masuk
setan. Demikian pula berpanjang angan-angan. Sebagian manusia menyebutnya” hambatan terbesar “ apa maksudnya.? Sebagian orang meletakkan satu perkara yang dianggap harus diprioritaskan sebagai hambatannya, lalu misalnya berkata,” Kalau aku selesai sekolah, baru...... insya Allooh.........aku akan bertaubat.
5. Kesempurnaan semu
Setan mendatangi manusia untuk menjadikannya merasa sempurna.
6. Tidak menilai diri dan kemampuannya secara tepat
Setan membuat seseorang tergelincir dalam menilai dirinya dengan dua jalan:
• Pandangan ujub dan menipu diri : yaitu setan mendorong manusia melihat dirinya secara ujub ( memuji diri ), sehingga dia terkena ghurur ( menipu diri ) dan takabur.
• Tawadhu dan memandang dirinya hina dan rendah
7. Tasykik ( menimbulkan keragu-raguan )
8. Takhwif ( menakut-nakuti )
Setan mempunyai dua metoda dalam menekut-nakuti manusia :
• Menakut-nakuti dari wali-wali setan
• Menakut-nakuti dari kefaqiran.
Hal-hal Yang Melancarkan Tugas Setan
1- Kebodohan
2- Hawa nafsu, Lemah Keikhlasan, dan Lemah Keyakinan
3- Kelalaian dan Tiadanya Kewaspadaan Terhadap Pintu-pintu Masuk Setan
OBATNYA
1- Iman Kepada Allooh
2- Mencari Ilmu Syar’i dari Sumber-sumber Yang Shahih
3- Ikhlas Dalam Dien ini
4- Dzikir Kepada Allooh Ta’ala dan Berlindung dari Godaan Setan Terkutuk.

(AQIDAH & MANHAJ IMAM AHMAD BIN HAMBAL) Kitab ini berisi penjelasan tentang Pokok-Pokok Sunnah serta Aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah yang dipegang

(AQIDAH & MANHAJ IMAM AHMAD BIN HAMBAL)
Kitab ini berisi penjelasan tentang Pokok-Pokok Sunnah serta Aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah yang dipegang teguh oleh Kaum Muslimin, Kitab ini juga mengajarkan dasar-dasar Agama yang menjadi pedoman bagi kaum Muslimin dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Dan Diantara Pokok-Pokok Sunnah Adalah :
1. Berpegang teguh pada jalan hidup para sahabat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
2. Berqudwah (mengambil teladan ) pada mereka.
3. Meninggalkan Bid’ah-Bid’ah.
4. Setiap Bid’ah adalah kesesatan.
5. Meninggalkan permusuhan dan brduduk-duduk dngan ahlil ahwa’ (pengekor hawa nafsu).
6. Meninggalkan perdebatan dan adu argumentasi serta pertikaian dalam urusan Agama.
7. As-Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
8. As-Sunnah adalah penjelasan Al-Qur’an yakni petunjuk-petunjuk dalam Al-Qur’an.
9. Di dalam As-Sunnah tidak ada Qiyas.
10. As-Sunnah tidak boleh dibuat permisalan dan tidak dapat diukur denan akal dan hawa nafsu, akan tetapi dengan Ittiba’ dan meninggalkan hawa nafsu.
11. Dan termasuk dari Sunnah yang tidak boleh ditinggalkan dan bila ditinggalkan satu perkara saja darinya maka ia tidak menerima dan tidak beriman dengannya (Sunnah) dan tidak termasuk dari ahlinya.
12. Beriman terhadap taqdir baik dan buruknya dan mmbenarkan hadits-hadits tentangnya dan mengimaninya, dan tidak boleh mengatakan : “Kenapa dan Bagaimana”, karna hal itu tiada lain hanyalah membenarkan dan mengimaninya. barangsiapa yang tidak mengerti penjelasan hadits (tentang taqdir) dan akalnya tidak sampai, maka hal itu telah cukup dan kokoh baginya. maka wajib baginya mengimaninya dan berserah diri. seperti hadits (as-Shaadiqul mashduua), dan hadits semisalnya tentang taqdir, juga semua hadits-hadits tentang melihat Allah, meskipun jarang terdengar dan banyak yang tidak suka mendengarnya, maka wajib mengimaninya dan tidak boleh menolak darinya satu hurufpun, dan hadits-hadits selainnya yang ma’tsur dari orang-orang yang tsiqah (terpercaya). tidak boleh mendebat seseorang tentangnya an mempelajari ilmu berdebat, karena berdebat tntang : “Taqdir, Ru’yah, Al-Qur’an dan yang selainnya dari (perinsip-perinsip) As-Sunnah adalah makruh dan terlarang. dan tidak termasuk Ahli Sunnah” meskipun perkataannya sesuai dengan As-Sunnah hingga ia meninggalkan perdebatan dan berserah diri serta beriman terhadap atsar-atsar.
13. Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk, dan tidak boleh melemah untuk mengatakan Al-Qur’an bukanlah makhluk, karena sesungguhnya kalam Allah itu tidak terpisah dari-Nya dan tiada satu bagianpun dari-Nya yang makhluk, dan hindarilah berdebat dengan orang yang membuat perkara baru tentangnya. orang yang mengatakan lafadzku dengan Al-Qur’An adalah makhluk dan selainnya serta orang yang tawaqqkuf tentangnya, yang mengatakan “aku tidak tahu makhluk atau bukan makhluk akan tetapi dia adalah kalam Allah” karena orang ini adalah ahli bid’ah seperti orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk. sesungguhnya Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk.
14. Beriman terhadap Ru’yah (melihat Allah) pada hari kiamat sebagaimana hadits-hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
15. Dan Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah melihat Rabbnya. telah ada atsar yang shahih dari Rasulullah yang diriwayatkan dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dan diriwayatkan oleh Al-Hakkam bin Abban dan Ikrimah dari Ibnu Abbas, serta diriwayatkan oleh Ali bin Zaid dari Yusuf bin Mihran dari Ibnu Abbas. dan hadits tersebut menurut kami hendaknya ifahami sesuai dengan makna zhahirnya, sebagaimana hal itu datang dari Nabi. sebab memperdebatkan tentangnya adalah bid’ah. akan tetapi kami mengimaninya sesuai dengan makna zhahirnya sebagaimana hal tersebut datang (kepada kami) dan kami tidak memperdebatkan tentangnya dengan siapapun.
16. Beriman kepada Al-Mizan (timbangan) pada hari kiamat, sebagaimana (yang di jelaskan) dalam hadits : “Seorang hamba akan ditimbang pada hari kiamat, maka ia tidak bisa mengimbangi berat sayap seekor nyamuk” . dan juga amalan-amalan para hamba akan ditimbang sebagaimana (yang dijelaskan) dalam Atsar, mengimani membenarkannya, dan berpaling dari orang yang menolaknya serta meninggalkan perdebatan dengannya.
17. Allah akan mengajak bicara hamba-hamba-Nya pada hari kiamat tanpa ada penerjemah antara mereka dengan-Nya dan kita wajib mengimani dan membenarkannya.
18. Beriman dengan Telaga, dan bahwa Rasulullah memiliki telaga pada hari kiamat yang akan didatangi oleh umatnya, dimana luasnya sepanjang perjalanan sebulan dan bejana-bejananya sebanyak bintang-bintang dilangit. menurut riwayat-riwayat yang shahih dari beberapa jalan.
19. Beriman kepada Adzab kubur.
20. Dan bahwa ummat ini akan diuji dan ditanya didalam kuburnya tentang Iman, Islam dan siapa Rabbnya, siapa Nabinya, dan akan didatangi oleh malaikat Munkar dan Nakir sesuai dengan kehendak dan keinginan Allah. dan kita mengimani dan membenarkannya.
21. Beriman terhadap syafa’at Nabi dan suatu kaum yang yang dikeluarkan dari api neraka setelah terbakar dan menjadi arang, kemudian mereka diperintahkan menuju sungai didepan Surga sesuai dengan kehendak Allah, sebagaimana (yang dijelaskan) dalam Atsar. dan kita mengimani dan membenarkannya.
22. Beriman bahwa Al-Masih ad-Dajjal akan keluar, tertulis diantara kedua matanya “Kaafir” dan kita beriman terhadap hadits-hadits tentangnya dan bahwa hal itu pasti akan terjadi.
23. Dan bahwa Isa bin Maryam ‘Alaihissalam akan turun lalu membunuhnya di pintu Lud.
24. Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang, sebagaimana (yang dijelaskan) dalam hadits : “Orang yang paling sempurna Imannya adalah orang yang paling baik Akhlaknya”.
25. Barangsiapa yang meninggalkan Shalat maka ia telah kafir. dan tidak ada satu amalan apapun yang apabila ditinggalkan maka akan menyebabkan kekafiran melainkan shalat. maka barangsiapa yang meninggalkan maka ia telah kafir dan Allah telah menghalalkannya untuk dibunuh.
26. Sebaik-baiknya orang dari Ummat ini setelah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian Umar bin Khaththab. kemudian Utsman bin Affan, Kami mendahulukan mereka bertiga sebagaimana Para Sahabat Rasulullah mendahulukan mereka, mereka tidak berselisih pendapat tentang hal ini. kemudian setelah mereka adalah lima orang Ashaabu Asyuura’ (yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Abi Waqqash) mereka semua patut untuk menjadi khalifah, dan semuanya adalah Imam (pemimpin), kami berpendapat demikian berdasarkan hadits Ibnu Umar : “Kami menyebut secara berurutan tatkala Rasulullah masih hidup dan para sahabat masih berkumpul, yaitu : Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian kami diam … Kmudian setelah Ashaabu Asyuura’ adalah ahli badar dari kaum muhajirin, kemudian ahli badar dari kaum Anshar dari para Sahabat Rasulullah sesuai dengan kadar hijrah dan keterdahuluannya (masuk Islam).
27. Kemudian sebaik-baik manusia setelah para Sahabat adalah generasi yang Rasulullah diutus padanya. setiap orang yang bersahabat dengannya baik setahun, sebulan, sehari, sesaat atau pernah melihatnya, maka ia trmasuk dari para sahabatnya, ia memiliki keutamaan bersahabat sesuai dengan waktu persahabatannya. karena keterdahuluannya bersama beliau, telah mendengar darinya, dan melihat kepadanya. maka serendah-rendah derajat mereka masih lebih utama dibanding dengan generasi yang tidak pernah melihatnya walaupun ia berjumpa Allah dengan membawa seluruh amal (kebaikan). mereka orang-orang yang pernah ersahabat dngan Nabi, melihat dan mendengar adarinya, serta orang yang melihat dngan mata kepalanya dan beriman kepadanya walaupun sesaat masih lebih utama, dikarenakan persahabatannya dengan beliau dari pada para tabi’in walaupun mereka mengamalkan segala amal kebaikan.
28. Mendengar dan taan kepada para Imam dan pemimpin kaum Mu’minin yang baik maupun yang buruk, dan kepada khalifah yang manusia brsatu padanya dan meridhainya. dan juga kpada orang yang telah mengalahkan manusia dengan pedang (kekuatan) hingga ia menjadi khalifah dan di sebut sebagai Amirul Mukminin.
29. Perang dilakukan bersama para pemimpin yang baik maupun yang buruk, terus berlangsung sampai hari kiamat, dan tidak boleh ditinggalkan.
30. Pembagian Fa’i (harta rampasan perang dari kaum kafir tanpa terjadi peprangan) dan menegakkan hukuman-hukuman harus diserahkan kepada para Imam. tidak boleh bagi siapapun untuk mencla dan menyelisihinya.
31. Membayar Zakat/Sedekah kepada mereka (para Imam) boleh dan terlaksana. barangsiapa membayarkannya kepada mereka maka hal itu telah cukup/sah baginya, baik pemimpin itu baik maupun buruk.
32. Melaksanakan Shalat jum’at dibelakang mereka dan dibelakang orang yang menjadikan mereka sebagai pemimpin hukumnya boleh dan sempurna dua rakaat. barangsiapa yang mengulangi shalatnya maka ia adalah seorang mubtadi’ yang meninggalkan atsar-atsar dan menyelisihi Sunnah, dan tidak ada baginya sedikitpun keutamaan shalat jum’at, apabila ia tidak berpendapat bolehnya shalat dibelakang para Imam, baik pemimpin itu baik maupun buruk karena Sunnah memerintahkan agar melaksanakan shalat bersama mereka dua rakaat dan mengakui bahwa shalat itu sempurna. tanpa ada keraguan terhadap hal itu didalam hatimu.
33. Barangsiapa yang keluar (dari ketaatan) terhadap seorang pemimpin dari para pemimpin kaum Muslimin, padahal manusia telah bersatu dan mengakui kehalifahan baginya dengan cara apapun. baik dengan ridha atau dengan kemenangan (Dalam Perang), maka sungguh orang tersebut telah memecah belah persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar-atsar dari Rasulullah, dan apabila ia mati dalam keadaan demikian maka matinya seperti mati jahiliyah .
34. Tidak halal memerangi khalifah dan keluar dari ketaatan kepadanya dikarenakan seseorang, barangsiapa yang melakukan hal itu maka ia adalah seorang mubtadi’ yang bukan diatas Sunnah dan jalan( yang lurus).
35. Memerangi para pencuri dan orang-orang khawarij (yang keluar dari ketaatan kepada khalifah) maka hal ini boleh, apabila mereka telah merampas jiwa dan harta seseorang, maka bagi orang tersebut boleh memerangi mereka untuk mempertahankan jiwa dan hartanya dengan segala kemampuan. Akan tetapi ia tidak boleh mengejar dan mengikuti jejak mereka apabila mereka telah pergi dan meninggalkannya. Tidak boleh bagi siapapun kecuali Imam atau para para pemimpin Muslimin, karena hanya diperbolehkan untuk mempertahankan harta dan jiwa ditempat tinggalnya, dan berniat dengan upayanya untuk tidak membunuh seseorang. Jika ia (pencuri/khawarij) mati ditangannya dalam peperangan mempertahankan dirinya, maka Allah akan menjauhkan orang yang terbunuh (dari Rahmat-Nya). dan jika ia (yang dirampok) terbunuh dalam keadaan demikian sedang ia mempertahankan jiwa dan hartanya, maka aku berharap ia mati syahid sebagaimana (yang dijelaskan) dalam hadits-hadits. Dan seluruh atsar dalam masalah ini memerintahkan agar memeranginya dan tidak memerintahkan untuk membunuh dan mengejarnya. Dan tidak boleh membunuhnya jika ia menyerah atau terluka. Dan jika ia menawannya maka tidak boleh membunuhnya dan tidak boleh melaksanakan hukuman kepadanya akan tetapi urusannya diserahkan kepada orang yang telah dijadikan oleh Allah sebagai pemimpin, lalu (kemudian) iapun menghukuminya.
36. Kami tidak bersaksi dengan (masuk) surga atau neraka bagi siapapun dari ahli kiblat (kaum muslimin) disebabkan dari suatu amalan yang diperbuatnya. kami berharap (kebaikan) bagi orang shalih dan mengkhawatirkan (kejelekan) baginya. Kami (juga) mengkhawatirkan (kejelekan) akan menimpa orang yang buruk lagi berdosa, dan mengharapkan Rahmat Allah baginya.
37. Barangsiapa berjumpa Allah dengan membawa dosa yang menyebabkannya masuk kedalam neraka – sedang ia dalam keadaan bertaubat dan tidak berlarut-larut didalam dosa – maka sesungguhnya Allah akan mengampuninya dan menerima taubat dari hamba-hambanya serta memaafkan kesalahan-kesalahannya.
38. Barangsiapa berjumpa Allah sedangkan telah dilaksanakan hukuman dosa tersebut padanya didunia, maka ia adalah kafarahnya (penghapus dosanya). Sebagaimana (yang dijelaskan) dalam hadits Rasulullah.
39. Barangsiapa berjumpa Allah dalam kaadaan terus-menerus berbuat dosa tanpa bertobat darinya, yang mana dosa-dosa tersebut mengharuskannya disiksa, maka urusannya terserah kepada Allah. Jika Dia berkehendak, Dia akan menyiksanya dan jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya.
40. Barangsiapa berjumpa Allah dari orang kafir, niscaya Dia menyiksanya dan tidak mengampuninya.
41. (Hukuman) Rajam adalah hak bagi siapa saja yang berzina sedangkan ia telah terpelihara (menikah), bilamana ia mengaku atau terbukti atasnya.
42. Rasulullah telah (meleksanakan hukuman0 Rajam.
43. Demikian juga para Imam (pemimpin) yang lurus telah melaksanakan hukuman Rajam.
44. Barangsiapa yang mencela salah seorang Sahabat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam atau membencinya karena suatu kesalahan darinya, atau menyebutkan kejelekan-kejelekannya, maka dia adalah seorang ahli bid’ah, sehingga dia menyayangi mereka semua dan hatinya bersih dari (sikap membenci atau mencela) mereka.
45. Dan Nifak adalah kekafiran yakni kafir kepada Allah dan beribadah kepada selain-Nya, menampakkan keislaman dihadapan orang umum, seperti orang-orang munafik yang hidup dizaman Rasulullah.
46. Dan sabda Nabi : Artinya … “Tiga perkara yang barangsiapa ada pada dirinya maka ia adalah orang munafiq” dalam hadits ini sebagai ancaman yang berat, dan kami meriwayatkannya seperti apa adanya, dan kami juga tidak menafsirkannya (dengan makna lain).
47. Dan sabdanya : Artinya … “Janganlah kamu kembali menjadi orang-orang kafir yang sangat sesat sepeninggalku, sebagian kamu membunuh sebagian yang lain”. dan seperti halnya hadits Nabi : Artibya … “Apabila dua orang muslim saling berhadapan dengan mengangkat pedang, maka si pembunuh dan yang terbunuh keduanya akan masuk neraka”. dan juga seperti hadits Nabi : Artinya … ” Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran”. dan seperti juga disebutkan dalam sabda Nabi : Artinya … “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya ‘wahai kafir … maka perkataan tersebut akan kembali kepada salah satu dari keduanya”. dan juga seperti sabdanya : Artinya … “Merupakan kekafiran kepada Allah adalah berlepas diri dari nasab walaupun sekecil apapun”.
48. Dan yang semisal hadits-hadits tersebut dari apa yang benar dan terjaga. kami pasrah kepadanya walaupun tidak mengetahui tafsirnya, dan kami tidak membicarakannya dan juga tidak memperdebatkannya, dan kami (juga) tidak menafsirkan hadits-hadits ini, kecuali sebagaimana ia datang (seperti apa adanya), kami tidak menolaknya kecuali dengan apa yang lebih benar darinya.
49. Surga dan neraka adalah dua makhluk yang telah diciptakan sebagaimana sabda Rasulullah yang Artinya : … “Aku telah memasuki surga, maka melihat sebuah istana”. “dan aku telah melihat al-kautsar”. “dan aku telah melihat surga, lalu aku melihat … begini dan begitu”. maka barangsiapa yang menyangka bahwa keduanya (surga dan neraka) belum diciptakan, berarti dia telah mendustakan Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah. dan aku (Imam Ahmad bin Hambal) menyangka bahwa ia tidak beriman dengan (adanya) surga dan neraka.
50. Barangsiapa meninggal dunia dari ahli kiblat dalam keadaan bertauhid, maka ia (berhak) dishalatkan dan dimintakan ampunan baginya. Dan Istighfar (permintaan ampunan kepada Allah) tidak boleh dihalangi darinya. dan menshalati jenazahnya tidak boleh ditinggalkan disebabkan suatu dosa yang dilakukannya, baik dosa kecil maupun besar dan urusannya terserah kepada Allah.



Kitab ini berisi penjelasan tentang Pokok-Pokok Sunnah serta Aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah yang dipegang teguh oleh Kaum Muslimin, Kitab ini juga mengajarkan dasar-dasar Agama yang menjadi pedoman bagi kaum Muslimin dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Dan Diantara Pokok-Pokok Sunnah Adalah :
1. Berpegang teguh pada jalan hidup para sahabat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
2. Berqudwah (mengambil teladan ) pada mereka.
3. Meninggalkan Bid’ah-Bid’ah.
4. Setiap Bid’ah adalah kesesatan.
5. Meninggalkan permusuhan dan brduduk-duduk dngan ahlil ahwa’ (pengekor hawa nafsu).
6. Meninggalkan perdebatan dan adu argumentasi serta pertikaian dalam urusan Agama.
7. As-Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
8. As-Sunnah adalah penjelasan Al-Qur’an yakni petunjuk-petunjuk dalam Al-Qur’an.
9. Di dalam As-Sunnah tidak ada Qiyas.
10. As-Sunnah tidak boleh dibuat permisalan dan tidak dapat diukur denan akal dan hawa nafsu, akan tetapi dengan Ittiba’ dan meninggalkan hawa nafsu.
11. Dan termasuk dari Sunnah yang tidak boleh ditinggalkan dan bila ditinggalkan satu perkara saja darinya maka ia tidak menerima dan tidak beriman dengannya (Sunnah) dan tidak termasuk dari ahlinya.
12. Beriman terhadap taqdir baik dan buruknya dan mmbenarkan hadits-hadits tentangnya dan mengimaninya, dan tidak boleh mengatakan : “Kenapa dan Bagaimana”, karna hal itu tiada lain hanyalah membenarkan dan mengimaninya. barangsiapa yang tidak mengerti penjelasan hadits (tentang taqdir) dan akalnya tidak sampai, maka hal itu telah cukup dan kokoh baginya. maka wajib baginya mengimaninya dan berserah diri. seperti hadits (as-Shaadiqul mashduua), dan hadits semisalnya tentang taqdir, juga semua hadits-hadits tentang melihat Allah, meskipun jarang terdengar dan banyak yang tidak suka mendengarnya, maka wajib mengimaninya dan tidak boleh menolak darinya satu hurufpun, dan hadits-hadits selainnya yang ma’tsur dari orang-orang yang tsiqah (terpercaya). tidak boleh mendebat seseorang tentangnya an mempelajari ilmu berdebat, karena berdebat tntang : “Taqdir, Ru’yah, Al-Qur’an dan yang selainnya dari (perinsip-perinsip) As-Sunnah adalah makruh dan terlarang. dan tidak termasuk Ahli Sunnah” meskipun perkataannya sesuai dengan As-Sunnah hingga ia meninggalkan perdebatan dan berserah diri serta beriman terhadap atsar-atsar.
13. Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk, dan tidak boleh melemah untuk mengatakan Al-Qur’an bukanlah makhluk, karena sesungguhnya kalam Allah itu tidak terpisah dari-Nya dan tiada satu bagianpun dari-Nya yang makhluk, dan hindarilah berdebat dengan orang yang membuat perkara baru tentangnya. orang yang mengatakan lafadzku dengan Al-Qur’An adalah makhluk dan selainnya serta orang yang tawaqqkuf tentangnya, yang mengatakan “aku tidak tahu makhluk atau bukan makhluk akan tetapi dia adalah kalam Allah” karena orang ini adalah ahli bid’ah seperti orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk. sesungguhnya Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk.
14. Beriman terhadap Ru’yah (melihat Allah) pada hari kiamat sebagaimana hadits-hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
15. Dan Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah melihat Rabbnya. telah ada atsar yang shahih dari Rasulullah yang diriwayatkan dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dan diriwayatkan oleh Al-Hakkam bin Abban dan Ikrimah dari Ibnu Abbas, serta diriwayatkan oleh Ali bin Zaid dari Yusuf bin Mihran dari Ibnu Abbas. dan hadits tersebut menurut kami hendaknya ifahami sesuai dengan makna zhahirnya, sebagaimana hal itu datang dari Nabi. sebab memperdebatkan tentangnya adalah bid’ah. akan tetapi kami mengimaninya sesuai dengan makna zhahirnya sebagaimana hal tersebut datang (kepada kami) dan kami tidak memperdebatkan tentangnya dengan siapapun.
16. Beriman kepada Al-Mizan (timbangan) pada hari kiamat, sebagaimana (yang di jelaskan) dalam hadits : “Seorang hamba akan ditimbang pada hari kiamat, maka ia tidak bisa mengimbangi berat sayap seekor nyamuk” . dan juga amalan-amalan para hamba akan ditimbang sebagaimana (yang dijelaskan) dalam Atsar, mengimani membenarkannya, dan berpaling dari orang yang menolaknya serta meninggalkan perdebatan dengannya.
17. Allah akan mengajak bicara hamba-hamba-Nya pada hari kiamat tanpa ada penerjemah antara mereka dengan-Nya dan kita wajib mengimani dan membenarkannya.
18. Beriman dengan Telaga, dan bahwa Rasulullah memiliki telaga pada hari kiamat yang akan didatangi oleh umatnya, dimana luasnya sepanjang perjalanan sebulan dan bejana-bejananya sebanyak bintang-bintang dilangit. menurut riwayat-riwayat yang shahih dari beberapa jalan.
19. Beriman kepada Adzab kubur.
20. Dan bahwa ummat ini akan diuji dan ditanya didalam kuburnya tentang Iman, Islam dan siapa Rabbnya, siapa Nabinya, dan akan didatangi oleh malaikat Munkar dan Nakir sesuai dengan kehendak dan keinginan Allah. dan kita mengimani dan membenarkannya.
21. Beriman terhadap syafa’at Nabi dan suatu kaum yang yang dikeluarkan dari api neraka setelah terbakar dan menjadi arang, kemudian mereka diperintahkan menuju sungai didepan Surga sesuai dengan kehendak Allah, sebagaimana (yang dijelaskan) dalam Atsar. dan kita mengimani dan membenarkannya.
22. Beriman bahwa Al-Masih ad-Dajjal akan keluar, tertulis diantara kedua matanya “Kaafir” dan kita beriman terhadap hadits-hadits tentangnya dan bahwa hal itu pasti akan terjadi.
23. Dan bahwa Isa bin Maryam ‘Alaihissalam akan turun lalu membunuhnya di pintu Lud.
24. Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang, sebagaimana (yang dijelaskan) dalam hadits : “Orang yang paling sempurna Imannya adalah orang yang paling baik Akhlaknya”.
25. Barangsiapa yang meninggalkan Shalat maka ia telah kafir. dan tidak ada satu amalan apapun yang apabila ditinggalkan maka akan menyebabkan kekafiran melainkan shalat. maka barangsiapa yang meninggalkan maka ia telah kafir dan Allah telah menghalalkannya untuk dibunuh.
26. Sebaik-baiknya orang dari Ummat ini setelah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian Umar bin Khaththab. kemudian Utsman bin Affan, Kami mendahulukan mereka bertiga sebagaimana Para Sahabat Rasulullah mendahulukan mereka, mereka tidak berselisih pendapat tentang hal ini. kemudian setelah mereka adalah lima orang Ashaabu Asyuura’ (yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Abi Waqqash) mereka semua patut untuk menjadi khalifah, dan semuanya adalah Imam (pemimpin), kami berpendapat demikian berdasarkan hadits Ibnu Umar : “Kami menyebut secara berurutan tatkala Rasulullah masih hidup dan para sahabat masih berkumpul, yaitu : Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian kami diam … Kmudian setelah Ashaabu Asyuura’ adalah ahli badar dari kaum muhajirin, kemudian ahli badar dari kaum Anshar dari para Sahabat Rasulullah sesuai dengan kadar hijrah dan keterdahuluannya (masuk Islam).
27. Kemudian sebaik-baik manusia setelah para Sahabat adalah generasi yang Rasulullah diutus padanya. setiap orang yang bersahabat dengannya baik setahun, sebulan, sehari, sesaat atau pernah melihatnya, maka ia trmasuk dari para sahabatnya, ia memiliki keutamaan bersahabat sesuai dengan waktu persahabatannya. karena keterdahuluannya bersama beliau, telah mendengar darinya, dan melihat kepadanya. maka serendah-rendah derajat mereka masih lebih utama dibanding dengan generasi yang tidak pernah melihatnya walaupun ia berjumpa Allah dengan membawa seluruh amal (kebaikan). mereka orang-orang yang pernah ersahabat dngan Nabi, melihat dan mendengar adarinya, serta orang yang melihat dngan mata kepalanya dan beriman kepadanya walaupun sesaat masih lebih utama, dikarenakan persahabatannya dengan beliau dari pada para tabi’in walaupun mereka mengamalkan segala amal kebaikan.
28. Mendengar dan taan kepada para Imam dan pemimpin kaum Mu’minin yang baik maupun yang buruk, dan kepada khalifah yang manusia brsatu padanya dan meridhainya. dan juga kpada orang yang telah mengalahkan manusia dengan pedang (kekuatan) hingga ia menjadi khalifah dan di sebut sebagai Amirul Mukminin.
29. Perang dilakukan bersama para pemimpin yang baik maupun yang buruk, terus berlangsung sampai hari kiamat, dan tidak boleh ditinggalkan.
30. Pembagian Fa’i (harta rampasan perang dari kaum kafir tanpa terjadi peprangan) dan menegakkan hukuman-hukuman harus diserahkan kepada para Imam. tidak boleh bagi siapapun untuk mencla dan menyelisihinya.
31. Membayar Zakat/Sedekah kepada mereka (para Imam) boleh dan terlaksana. barangsiapa membayarkannya kepada mereka maka hal itu telah cukup/sah baginya, baik pemimpin itu baik maupun buruk.
32. Melaksanakan Shalat jum’at dibelakang mereka dan dibelakang orang yang menjadikan mereka sebagai pemimpin hukumnya boleh dan sempurna dua rakaat. barangsiapa yang mengulangi shalatnya maka ia adalah seorang mubtadi’ yang meninggalkan atsar-atsar dan menyelisihi Sunnah, dan tidak ada baginya sedikitpun keutamaan shalat jum’at, apabila ia tidak berpendapat bolehnya shalat dibelakang para Imam, baik pemimpin itu baik maupun buruk karena Sunnah memerintahkan agar melaksanakan shalat bersama mereka dua rakaat dan mengakui bahwa shalat itu sempurna. tanpa ada keraguan terhadap hal itu didalam hatimu.
33. Barangsiapa yang keluar (dari ketaatan) terhadap seorang pemimpin dari para pemimpin kaum Muslimin, padahal manusia telah bersatu dan mengakui kehalifahan baginya dengan cara apapun. baik dengan ridha atau dengan kemenangan (Dalam Perang), maka sungguh orang tersebut telah memecah belah persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar-atsar dari Rasulullah, dan apabila ia mati dalam keadaan demikian maka matinya seperti mati jahiliyah .
34. Tidak halal memerangi khalifah dan keluar dari ketaatan kepadanya dikarenakan seseorang, barangsiapa yang melakukan hal itu maka ia adalah seorang mubtadi’ yang bukan diatas Sunnah dan jalan( yang lurus).
35. Memerangi para pencuri dan orang-orang khawarij (yang keluar dari ketaatan kepada khalifah) maka hal ini boleh, apabila mereka telah merampas jiwa dan harta seseorang, maka bagi orang tersebut boleh memerangi mereka untuk mempertahankan jiwa dan hartanya dengan segala kemampuan. Akan tetapi ia tidak boleh mengejar dan mengikuti jejak mereka apabila mereka telah pergi dan meninggalkannya. Tidak boleh bagi siapapun kecuali Imam atau para para pemimpin Muslimin, karena hanya diperbolehkan untuk mempertahankan harta dan jiwa ditempat tinggalnya, dan berniat dengan upayanya untuk tidak membunuh seseorang. Jika ia (pencuri/khawarij) mati ditangannya dalam peperangan mempertahankan dirinya, maka Allah akan menjauhkan orang yang terbunuh (dari Rahmat-Nya). dan jika ia (yang dirampok) terbunuh dalam keadaan demikian sedang ia mempertahankan jiwa dan hartanya, maka aku berharap ia mati syahid sebagaimana (yang dijelaskan) dalam hadits-hadits. Dan seluruh atsar dalam masalah ini memerintahkan agar memeranginya dan tidak memerintahkan untuk membunuh dan mengejarnya. Dan tidak boleh membunuhnya jika ia menyerah atau terluka. Dan jika ia menawannya maka tidak boleh membunuhnya dan tidak boleh melaksanakan hukuman kepadanya akan tetapi urusannya diserahkan kepada orang yang telah dijadikan oleh Allah sebagai pemimpin, lalu (kemudian) iapun menghukuminya.
36. Kami tidak bersaksi dengan (masuk) surga atau neraka bagi siapapun dari ahli kiblat (kaum muslimin) disebabkan dari suatu amalan yang diperbuatnya. kami berharap (kebaikan) bagi orang shalih dan mengkhawatirkan (kejelekan) baginya. Kami (juga) mengkhawatirkan (kejelekan) akan menimpa orang yang buruk lagi berdosa, dan mengharapkan Rahmat Allah baginya.
37. Barangsiapa berjumpa Allah dengan membawa dosa yang menyebabkannya masuk kedalam neraka – sedang ia dalam keadaan bertaubat dan tidak berlarut-larut didalam dosa – maka sesungguhnya Allah akan mengampuninya dan menerima taubat dari hamba-hambanya serta memaafkan kesalahan-kesalahannya.
38. Barangsiapa berjumpa Allah sedangkan telah dilaksanakan hukuman dosa tersebut padanya didunia, maka ia adalah kafarahnya (penghapus dosanya). Sebagaimana (yang dijelaskan) dalam hadits Rasulullah.
39. Barangsiapa berjumpa Allah dalam kaadaan terus-menerus berbuat dosa tanpa bertobat darinya, yang mana dosa-dosa tersebut mengharuskannya disiksa, maka urusannya terserah kepada Allah. Jika Dia berkehendak, Dia akan menyiksanya dan jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya.
40. Barangsiapa berjumpa Allah dari orang kafir, niscaya Dia menyiksanya dan tidak mengampuninya.
41. (Hukuman) Rajam adalah hak bagi siapa saja yang berzina sedangkan ia telah terpelihara (menikah), bilamana ia mengaku atau terbukti atasnya.
42. Rasulullah telah (meleksanakan hukuman0 Rajam.
43. Demikian juga para Imam (pemimpin) yang lurus telah melaksanakan hukuman Rajam.
44. Barangsiapa yang mencela salah seorang Sahabat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam atau membencinya karena suatu kesalahan darinya, atau menyebutkan kejelekan-kejelekannya, maka dia adalah seorang ahli bid’ah, sehingga dia menyayangi mereka semua dan hatinya bersih dari (sikap membenci atau mencela) mereka.
45. Dan Nifak adalah kekafiran yakni kafir kepada Allah dan beribadah kepada selain-Nya, menampakkan keislaman dihadapan orang umum, seperti orang-orang munafik yang hidup dizaman Rasulullah.
46. Dan sabda Nabi : Artinya … “Tiga perkara yang barangsiapa ada pada dirinya maka ia adalah orang munafiq” dalam hadits ini sebagai ancaman yang berat, dan kami meriwayatkannya seperti apa adanya, dan kami juga tidak menafsirkannya (dengan makna lain).
47. Dan sabdanya : Artinya … “Janganlah kamu kembali menjadi orang-orang kafir yang sangat sesat sepeninggalku, sebagian kamu membunuh sebagian yang lain”. dan seperti halnya hadits Nabi : Artibya … “Apabila dua orang muslim saling berhadapan dengan mengangkat pedang, maka si pembunuh dan yang terbunuh keduanya akan masuk neraka”. dan juga seperti hadits Nabi : Artinya … ” Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran”. dan seperti juga disebutkan dalam sabda Nabi : Artinya … “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya ‘wahai kafir … maka perkataan tersebut akan kembali kepada salah satu dari keduanya”. dan juga seperti sabdanya : Artinya … “Merupakan kekafiran kepada Allah adalah berlepas diri dari nasab walaupun sekecil apapun”.
48. Dan yang semisal hadits-hadits tersebut dari apa yang benar dan terjaga. kami pasrah kepadanya walaupun tidak mengetahui tafsirnya, dan kami tidak membicarakannya dan juga tidak memperdebatkannya, dan kami (juga) tidak menafsirkan hadits-hadits ini, kecuali sebagaimana ia datang (seperti apa adanya), kami tidak menolaknya kecuali dengan apa yang lebih benar darinya.
49. Surga dan neraka adalah dua makhluk yang telah diciptakan sebagaimana sabda Rasulullah yang Artinya : … “Aku telah memasuki surga, maka melihat sebuah istana”. “dan aku telah melihat al-kautsar”. “dan aku telah melihat surga, lalu aku melihat … begini dan begitu”. maka barangsiapa yang menyangka bahwa keduanya (surga dan neraka) belum diciptakan, berarti dia telah mendustakan Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah. dan aku (Imam Ahmad bin Hambal) menyangka bahwa ia tidak beriman dengan (adanya) surga dan neraka.
50. Barangsiapa meninggal dunia dari ahli kiblat dalam keadaan bertauhid, maka ia (berhak) dishalatkan dan dimintakan ampunan baginya. Dan Istighfar (permintaan ampunan kepada Allah) tidak boleh dihalangi darinya. dan menshalati jenazahnya tidak boleh ditinggalkan disebabkan suatu dosa yang dilakukannya, baik dosa kecil maupun besar dan urusannya terserah kepada Allah.

Syubhat

Syubhat: Memeluk Agama Samawi, Yahudi dan Nashrani Bukan Kafir
Ada orang berkata, "Yahudi dan Nashrani bukan orang kafir karena mereka termasuk Ahli Kitab dan pemeluk agama samawi yang semuanya berasal dari Allah. Karenanya antara orang Islam dengan Yahudi dan Nashrani tidak ada perbedaan."

Kita Jawab : Syubhat ini banyak mengandung kesalahan, berikut keterangannya:
Kesalahan pertama, perkataan mereka "Yahudi dan Nashrani bukan orang kafir," bertentangan dengan nash Al Qur'an dan Sunnah Nabawiyah yang sangat jelas. Firman Allah Ta'ala:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
"Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam." (QS. Al Maidah: 72)
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ
"Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa." (QS. Al Maidah: 73)
Sebagian mereka mengklaim bahwa Isa bin Maryam adalah tuhan dan sebagian yang lain berkata bahwa Isa adalah anak Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
"Orang-orang Yahudi berkata: 'Uzair itu putra Allah' dan orang Nasrani berkata: 'Al Masih itu putra Allah'. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknati mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?" (QS. Al Taubah: 30)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
"Demi Zat yang jiwa Muhammad berada dalam tangan-Nya, tidak seorangpun dari umat ini yang mendengarku, baik ia seorang Yahudi atau Nashrani, lantas ia meninggal lantas dan tidak beriman terhadap risalahku ini; melainkan ia menjadi penghuni neraka.” (HR. Muslim no. 153 dalam Kitab al Iiman)
Kesalahan kedua, dalam perkataan mereka, "bahwa Yahudi dan Nashrani bukan orang kafir karena mereka termasuk ahli kitab dan pemeluk agama samawi yang semuanya berasal dari Allah".
Memang benar bahwa Yahudi dan Nahsrani termasuk ahli kitab dan pemeluk agama samawi. Hanya saja perkataan yang benar ini memiliki maksud yang batil. Makna mereka sebagai ahli kitab bukan berarti mereka beriman, karena mereka telah kufur kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Orang Yahudi telah membunuh para Nabi sedangkan Nashrani meyakini Isa sebagai tuhan. Keduanya, sama-sama, merubah kitab mereka dan membedakan antara beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasul-Nya, beriman kepada sebagian Rasul dan mengingkari sebagian rasul yang lain, kemudian Allah menyebutkan tempat kembali mereka, "Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk." (QS. Al Bayyinah: 6)
Makna mereka sebagai ahli kitab bukan berarti mereka beriman, karena mereka telah kufur kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam.
Mereka memang sebagai ahli kitab, namun mereka tidak mengenal Tauhidullah (KeEsaan Allah) 'Azza wa Jalla, karenanya ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, beliau berpesan; "Kamu akan mendatangi kaum dari ahli kitab, maka yang pertama kali harus kamu dakwahkan agar mereka mentuahidkan Allah Ta'ala." (HR. Al Bukhari).
Mereka memang sebagai ahli kitab, namun mereka tidak mengenal Tauhidullah (KeEsaan Allah) 'Azza wa Jalla,
Allah juga berfirman tentang Yahudi dan Nashrani,
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ
"Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan." (QS. Al Baqarah: 79)
Yahudi dan Nashrani memang ahli kitab, tapi mereka kufur kepada kitab-kitab mereka sendiri, merubahnya, dan mencela Allah Ta'ala, sebagaimana yang terdapat dalam hadits shahih dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda, "Allah Ta'ala berfirman,
كَذَبَنيِ اِبْنُ اَدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ فَاِنَّمَا تَكْذِيْبُهُ اِيَّايَ فَقَوْلُهُ لَنْ يَعْبُدَنِيْ كَمَا بَدَاءَنِي وَلَيْسَ اَوَّلَ اْلخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلَيَّ مِنْ اِعَادَتِهِ وَاَمَّاشَتْمُهُ اِيَّايَ فَقَوْلُهُ اِتَّخَذَ اللهُ وَلَدًا وَاَنَا اْلاَحَدُ الصَّمَدُ لَمْ اَلِدْ وَلَمْ اُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لِي كُفُوًّا اَحَدٌ
"Anak Adam (manusia) telah mendustakan dan mencela-Ku, padahal dia tidak pantas berbuat demikian. Adapun pendustaannya terhadap-Ku dengan dia berkata, "Dia (Alah) tidak akan mengembalikanku sebagaimana ia menciptaanku", bukankah menciptakan untuk pertama kali lebih susah daripada mengembalikannya pada bentuk semula?. Adapun cercaannya kepada-Ku dengan dia berkata, "Allah mengambil seorang putra," padahal Aku Dzat Yang Maha Esa (tunggal) dan Maha Tumpuan, Aku tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tak ada seorangpun yang setara dengan-Ku." (HR. Al Bukhari)
Yahudi dan Nashrani memang ahli kitab, tapi mereka kufur kepada kitab-kitab mereka sendiri, merubahnya, dan mencela Allah Ta'ala,
Mencela berarti menyifati dengan kerendahan. Sedangkan menuduh Allah punya anak menunjukkan bahwa Dia adalah makhluk atau ada yang mengadakan. Dan ini sebagai puncak penghinaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah Ta'ala berfirman, "Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. . . " (QS. Al Maidah: 64)
Layakkah orang yang mencela Allah, baik dari kalangan ahli kitab ataupun selainnya, layak disebut orang beriman?
Layakkah orang yang mencela Allah, baik dari kalangan ahli kitab ataupun selainnya, layak disebut orang beriman? Semoga Allah melindungi kita agar tidak menjadi orang yang tertipu dan buta.
Kesalahan ketiga, perkataan mereka "Karenanya antara orang Islam dengan Yahudi dan Nashrani tidak ada perbedaan."
Inilah keadilan menurut versi orang-orang dzalim. Padahal sangat jelas terlihat perbedaan yang besar antara orang beriman dengan orang kafir, antara orang yang mengesakan (mentauhidkan) Allah dengan orang yang menyatakan Allah satu oknum dari yang tiga (paham trinitas), dan antara orang yang mengagungkan Allah dengan orang yang menghina-Nya.
Mereka menyatakan Allah punya anak dan istri. Mereka juga mengatakan Allah telah mati dan Dia Ta'ala satu oknum dari tiga tuhan. Apakah keadilan itu dengan menyamakan antara yang hak dengan yang batil?.
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
"Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?," (QS. Al Qalam: 35-36). Jika terhadap orang yang taat dan yang maksiat saja, Allah tidak menyamakan, bagaimana mungkin Dia menyamakan orang yang mukmin dengan yang kafir?
Allah Ta'ala berfirman,
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
"Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu." (QS. Al Jatsiyah: 21)
وَمَا يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَلَا الْمُسِيءُ قَلِيلًا مَا تَتَذَكَّرُونَ
"Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidaklah (pula sama) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal shaleh dengan orang-orang yang durhaka. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran." (QS. Ghaafir: 58)
Bagaimana mungkin Allah menyamakan antara orang beriman yang bisa melihat kebenaran dengan orang kafir yang buta dari kebenaran?.
Bagaimana mungkin Allah menyamakan antara orang beriman yang bisa melihat kebenaran dengan orang kafir yang buta dari kebenaran?.
Allah juga menerangakan, tidak akan menyamakan antara orang berilmu dengan orang yang jahil dalam firman-Nya:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُواْ الألْبَابِ
"Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (QS. Az Zumar: 9)
Adil bukan berarti menyamakan secara keseluruhan. Tapi adil adalah menyamakan dua hal yang semisal. Adil juga bermakna meletakkan sesuatu di tempatnya. Inilah pemahaman yang benar.
Menyandangkan predikat iman dan kebenaran kepada orang kafir tidak bisa disebut keadilan, malahan bagian bentuk kedzaliman.
Menyandangkan predikat iman dan kebenaran kepada orang kafir tidak bisa disebut keadilan, malahan bagian bentuk kedzaliman. Sedangkan orang yang Allah kaburkan cahaya hati dan penglihatan mereka, maka dia melihat kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai kebenaran. Kita berlindung kepada Allah jangan sampai menjadi orang yang tertipu. Kita juga memohon kepada-Nya agar menganugerahkan cahaya kepada kita sehingga bisa melihat kebenaran dan keimanan dan menjauhi kebatilan dan kekafiran.

Jumat, 21 Mei 2010

Sifat Orang Yang Dimasukan Kedalam Surga

Sifat Orang Yang Dimasukan Kedalam Surga

Oleh: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Allooh menjelaskan kedekatan orang-orang yang bertaqwa dengan surga. Para penghuni surga adalah orang-orang yang memiliki empat sifat keutamaan:
Pertama : Orang yang kembali kepada Allooh ( awwab ) dari kemaksiatan
menuju ketaatan, dari keterlenaan menjadi terjaga. Ubaid bin
‘Amir berkata” Orang yang kembali adalah orang yang teringat akan dosa-dosanya kemudian meminta ampun kepada Allooh atas segala perbuatannya. Sedangkan Sa’id ibnu Musib berkata,’’ Orang yang kembali adalah orang berbuat dosa lalu bertaubat dan berbuat dosa lagi lalu bertaubat kembali.”
Kedua : Hafidz. Menurut Ibnu Abbas, seorang hafidz senantiasa menjaga diri terhadap amanat yang dibebankan dan diwajibkan Allooh kepadanya. Qatada berkata,” Senantiasa menjaga hak-hak Allooh dan apa yang telah dianugerahkan kepadanya.” Hawa nafsu mempunyai dua kekuatan, kekuatan untuk meminta dan kekuatan untuk menahan. Maka seorang yang kembali ( awwab ) menggunakan kekuatan untuk kembali kepada Allooh, mentaati-Nya dan mencari keridhoan-Nya. Sedangkan seorang yang amanah menggunakan kekuatan menahan untuk menahan diri dariberbuat maksiat dan melanggar larangan-larangan-Nya. Maka seorang hafidz adalah orang yang menjaga dirinya dari apa yang diharamkan, sedangkan seorang Awwab adalah orang yang menerima apa yang diperintahkan Allooh dengan penuh ketaatan.
Ketiga : Firman Allooh,” Yaitu orang yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah.”(Qaaf:33). Yaitu orang yang menyatakan kepercayaannya kepada waujud Allooh, kekuasaan, ilmu, dan kemampuaan-Nya menguasai semua keadaan manusia. Dan juga percaya kepada Kitab, Rasul, Perintah dan larangan-Nya. Juga percaya kepada jin, ancaman dan pertemuannya dengan Allooh. Maka tidak sah ketakutan seseorang kepada Allooh tanpa memenuhi unsur-unsur di atas.
Keempat : Firman Allooh,” Dia datang dengan hati yang betaubat.”(Qaaf : 33). Ibnu Abbas berkata,” Kembalilah dari maksiat kepada Allooh dan sambutlah ketaatan kepada-Nya.” Hakikat taubat adalah ketetapan hati untuk senantiasa mentaati Allooh, mencitai-Nya, dan menerima segala sesuatu yang ditetapkan-Nya.
Kemudian Allooh menjelaskan pahala bagi orang-orang yang memenuhi keempat kriteria ini dalam firman-Nya,” Masuklah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka didalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki dan pada sisi kami ada tambahannya.”(Qaaf :34-35).

Sifat Orang Yang Dimasukan Kedalam Neraka

Sifat Orang Yang Dimasukan Kedalam Neraka
Oleh : Ibnu Quyyim Al-Jauziyah

Orang yang dimasukan ke dalam neraka jahannam itu memiliki enam sifat :

1. Kufur terhadap nikmat Allooh dan hak-hak-Nya, kufur terhadap agama, tauhid dan sifat-Nya, serta kufur terhadap Rasul, Malaikat, kitab dan hari akhir.

2. Memerangi dan memusuhi kebenaran.

3. Menolak kebaikan, baik terhadap dirinya sendiri untuk taat dan mendekatkan diri kepada Allooh, maupun kebaikan orang lain. Sehingga dia sama sekali tidak mempunyai catatan kabaikan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang banyak.

4. Di samping menolak berbuat baik, dia juga memusuhi manusia, kejam, dan berlaku dzalim kepada mereka baik dengan tangan maupun lisannya.

5. Dia selalu ragu-ragu dalam menentukan sikap.

6. Berbuat syirik kepada Allooh dan menjadikan Tuhan lain selain Allooh untuk disembah dan dipuja-puja.

Orang yang memiliki sifat-sifat diatas berkawan dengan syetan yang pada akhirnya menjerumuskan dan menyesatkannya. Akan tetapi syetan itu menolak bahwa dia yang menyesatkan seraya berkata :” Saya tidak punya kekuatan untuk menyesatkan dan menjerumuskannya, akan tetapi dia berada dalam kesesatan karna pilihannya sendiri dan menolak kebenaran.” Seperti yang dikatakan oleh iblis kepada ahli neraka,:” Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan sekedar aku menyuru kamu lalu kamu memenuhi seruanku.” ( Ibrahim: 22 ).
Dengan demikian dia sendiri bersama dengan kawannya, syetan, sama-sama memusuhi Allooh. Orang yang sesat itu menuduh malaikat telah menambah apa yang ditulisnya. Dia juga menyangkal bahwa dirinya tidak melakukan apa yang ditulis oleh malaikat tersebut, dan mengatakan bahwa malaikat itu terlalu cepat mencatat perbuatannya sebelum dia bertaubat. Kemudia malaikat itu menjawab,” Saya tidak menambah sama sekali apa yang diperbuatnya dan tidak tergesa-gesa dalam mecatat hingga dia bertaubat. Lalu berkata,” Tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh.” ( Qaaf : 27 ). Kemudian Allooh berkata,” Janganlah kalian bertengkar di hadapan-Ku.” ( Qaaf: 28 ). Allooh juga telah menjelaskan pertengkaran orang kafir dihadapan-Nya dalam surah Ash-Shaffat dan Al-A”raf, tengtang pertengkaran manusia di hadapan-Nya dalam surah Az-Zumar, dan pertengkaran penghuni neraka dalam surah Asy-Syu’ara dan shaad. Kemudian Allooh mengatakan bahwa Dia tidak mengubah ketentuan yang ditetapkan-Nya, seraya berkata. ” Aku akan memenuhi neraka jahannam dengan jin dan manusia yang durhaka semuanya.” ( Huud: 119 ).

Selasa, 18 Mei 2010

Hak Allah atas Hambanya

Ambillah Aqidahmu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah (1): Hak Allah atas Hambanya

Oleh: Syaikh Muhammad Bin Jamil Zainu

Muqoddimah

بسم ا لله الر حمن ا لر حيم

Segala puji hanya bagi Allah ‘azza wa jalla tempat memuji, minta pertolongan dan mohon ampun. Kita berlindung dari kejahatan hawa nafsu dan kejelekan perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk.


Saya bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang haq selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Tulisan yang ada di tangan pembaca ini saya susun dalam bentuk tanya jawab yang didasari dengan dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan harapan akan memantapkan pembaca dalam memperoleh jawaban yang benar dalam ‘aqidah, sebab ‘Aqidah Tauhid merupakan dasar kebahagiaan menusia di dunia maupun di akhirat.

Saya memohon kepada Allah agar risalah ini bermanfaat kaum muslimin menjadikannya amalan yang ikhlas karena Allah.

Muhammad bin Jamil Zainu

Bab 1: Hak Allah Atas Hamba-Nya

Soal 1:

Mengapa dan untuk apa Allah menciptakan kita?

Jawab 1:

Allah menciptakan kita agar kita beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya. Berdasarkan firman Allah:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Artinya: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Terj. Adz-Dzariyat: 56)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

حق الله على العباد أن ي عبدوه ولا يشركوا به شيئا

Artinya: “Hak Allah atas hamba-Nya adalah supaya hamba itu beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (Hadits shohih riwayat Bukhari dan Muslim).

-

Soal 2:

Apakah ibadah itu?

Jawab 2:

Ibadah adalah kata atau istilah yang meliputi semua perkara yang dicintai oleh Allah, baik perkataan maupun perbuatan (lahir dan batin), seperti berdo’a, shalat, menyembelih hewan (kurban) dan sebagainya. Allah berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Artinya: “Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, kurbanku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Pencipta alam semesta ini.” (Al-An’am: 162)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

و ما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افتر ضته عليه

Artinya: “Tidaklah mendekatkan diri hamba-Ku kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan kepada-Nya.” (Hadits Qudsi riwayat Bukhari)

-

Soal 3:

Bagaimana kita beribadah kepada Allah ?

Jawab 3:

Beribadah kepada Allah adalah sebagaimana yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan janganlah kalian rusak amalan kalian!” (Terj. Muhammad: 33)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

Artinya: “Barangsiapa yang beramal tanpa ada perintah dari kami, maka tertolak.” (Hadits shohih riwayat Muslim).

-

Soal 4:

Haruskah kita beribadah kepada Allah dengan rasa takut dan harap?

Jawab 4:

Ya, demikianlah kita beribadah kepada-Nya sebagaimana Allah mensifati orang-orang mukmin:

تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً

Artinya: “Mereka berdo’a kepada Allah dengan rasa takut dan harap.” (Terj. As-Sajdah: 16)

Dan sabda Rasulullah:

أسأل الله الجنة و أعوذ به من النار

Artinya: “Aku memohon surga kepada Allah dan aku berlindung kepada-Nya dari neraka.” (Hadits shohih riwayat Abu Dawud).

-

Soal 5:

Apa yang dimaksud ihsan dalam beribadah?

Jawab 5:

Al-Ihsan adalah meyakini bahwa dirinya senantiasa diawasi oleh Allah dalam beribadah. Allah berfirman:

الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِين

Artinya: “Dialah yang melihatmu ketika kami berdiri (untuk sholat) dan (melihat pula) perubahan gerak-gerik badanmu diantara orang-orang yang sujud.” (Terj. Asy-Syu’ara: 218-219)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ألإحسان أن تعبد الله مأنك تراه فان لم تكن تراه فانه يراك

Artinya: “Ihsan itu adalah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Dan jika kamu tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (Hadits shohih riwayat Muslim)

-bersambung insya Allah-

Meniti Manhaj Salaf Membentuk Generasi Qur'ani: Macam-Macam Syirik Akbar (B)

Meniti Manhaj Salaf Membentuk Generasi Qur'ani:
Hak Allooh Atas Hambanya
Macam-Macam Tauhid dan Faedahnya
Syarat-Syarat Diterimanya Amal
Syirik Akbar
Macam-Macam Syirik Akbar (A)
Macam-Macam Syirik Akbar (B)