Minggu, 31 Oktober 2010

Jenggot… Haruskah? (5, terakhir)

Jenggot… Haruskah? (5, terakhir)

31 Januari 2010 pada 23:17 (Fikih, Konsultasi)
Tags: brewok, haruskah berjenggot, hukum jenggot, jenggot, jenggot dan teroris, wajibnya jenggot

i

2 Votes

Quantcast

Syubuhat Seputar Jenggot

1. Bukankah Nabi -shollallohu alaihi wasallam- mengaitkan perintah memelihara jenggot itu dengan perintah menyelisihi Kaum Yahudi?!.. Dan karena di era ini, ada beberapa Kaum Yahudi yang memanjangkan jenggotnya, mengapa kita tidak memotong jenggot agar kita menyelisihi mereka?

Ada banyak jawaban untuk syubhat ini, diantaranya:

a. Mereka yang memanjangkan jenggotnya hanya sebagian kecil saja, mayoritasnya tetap tidak memelihara jenggot. Padahal kita tahu, bahwa hukum standar untuk kelompok tertentu, itu didasarkan pada perbuatan seluruh atau mayoritas individunya, bukan pada perbuatan sebagian kecilnya. Ini menunjukkan bahwa perintah menyelisihi mereka dengan memanjangkan jenggot masih sesuai dengan kenyataan yang ada.

b. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- tidak hanya mengaitkannya dengan perintah menyelisihi Kaum Yahudi, tapi juga mengaitkannya dengan perintah menyelisihi Kaum Musyrikin, Kaum Majusi, dan Kaum Nasrani. Dan kita tahu, kebanyakan dari mereka sampai saat ini, masih memangkas habis jenggotnya.

c. Dua perintah beliau ini, (yakni perintah memanjangkan jenggot dan perintah menyelisihi Kaum Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Musyrikin), adalah dua perintah yang berdiri sendiri-sendiri, dan dua-duanya harus dijalankan semuanya. Sehingga kita tidak boleh menyelisihi mereka, jika konsekuensinya harus meninggalkan perintah untuk memanjangkan jenggot, wallohu a’lam.

Lalu apa dalil bahwa dua perintah ini berdiri sendiri-sendiri?

Dalilnya adalah banyaknya perintah dari Alloh dan Rosul-Nya untuk menyelisihi mereka tanpa dibarengi perintah memanjangkan jenggot. Sebaliknya, ada juga perintah memanjangkan jenggot tanpa dibarengi perintah menyelisihi mereka. Perhatikanlah nash-nash berikut:

أَنّ رسول الله صلى الله عليه وسلمُ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَة (رواه مسلم)

Sesungguhnya Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- telah menyuruh menyukur tipis kumis dan memanjangkan jenggot. (HR. Muslim)

عن أبي الزبير: كنا نؤمر أن نوفي السبال, ونأخذ من الشارب (مصنف ابن أبي شيبة 5/25504)

Abuz Zubair mengatakan: “Dahulu kami (para sahabat) diperintah untuk memanjangkan jenggot, dan menyukur kumis”. (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah 5/25504)

عن أبي أمامة, قال عليه الصلاة والسلام: يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ حَمِّرُوا وَصَفِّرُوا وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ… تَسَرْوَلُوا وَائْتَزِرُوا وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ… فَتَخَفَّفُوا وَانْتَعِلُوا وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ (حسنه الحافظ في الفتح والألباني في الصحيحة)

Dari Abu Umamah, Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: Wahai Kaum Anshor, semirlah (uban) dengan warna merah dan kuning, selisihilah Kaum Ahli Kitab… Pakailah celana dan sarung, selisihilah Kaum Ahli Kitab… Ringankanlah dan pakailah alas kaki, selisihilah Kaum Ahli Kitab… (Hadits ini dihasankan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di Fathul Bari 10/254, dan Albani di Silsilah Shohihah, hadits no: 1245)

Lihatlah… Pada hadits pertama dan kedua, ada perintah memanjangkan jenggot, tanpa dibarengi perintah menyelisihi kaum Ahli Kitab… Sedang pada hadits ketiga, ada banyak perintah menyelisihi kaum Ahli Kitab, tanpa dibarengi perintah memanjangkan jenggot. Ini menunjukkan bahwa kedua perintah itu berdiri sendiri-sendiri, dan harus dikerjakan semuanya… Dan ketika dua perintah itu berkumpul pada satu amalan, maka itu lebih menguatkan petunjuk wajibnya amalan itu, sebagaimana terjadi pada masalah memanjangkan jenggot ini, wallohu a’lam.

d. Perintah menyelisihi mereka adalah khusus pada hal-hal yang menyelisihi fitrah dan Syariat Islam, jika pada keadaan tertentu mereka kembali pada fitrahnya dan sesuai Syariat Islam, maka kita tidak diperintahkan menyelisihinya.

Banyak contoh dalam masalah ini:

1. Jika mereka pada masa-masa tertentu, menjadi jujur dan amanah, bahkan melebihi kaum muslimin, bolehkah kita bohong dan berkhianat dengan dalih menyelisihi mereka?!
2. Jika di saat ini, banyak dari mereka yang menghargai waktu, bahkan melebihi kaum muslimin, apa kita diperintah menyelisihinya?!
3. Jika suatu saat, mereka lebih memperhatikan kebersihan lingkungan melebihi kaum muslimin, apa kita dibolehkan mengumuhkan lingkungan kita, karena ingin menerapkan perintah menyelisihi mereka?!… dan selanjutnya anda bisa meneruskan sendiri contoh-contoh yang lain.

2. Bukankah Nabi -shollallohu alaihi wasallam- menyabdakan, memelihara jenggot itu termasuk fitrah sebagaimana siwakan, istinsyaq (membersihkan hidung dengan memasukkan air ke dalamnya), dan mencabuti bulu ketiak? Dan karena siwakan, istinsyaq dan mencabuti bulu ketiak itu hukumnya sunat, itu menunjukkan memelihara jenggot juga hukumnya sunat.

Banyak jawaban dari syubhat ini, diantaranya:

a. Maksud kata fitrah di sini, sebagaimana dikemukakan oleh para penyarah hadits, adalah: “Sunnah (tuntunan) yang dipilih oleh para Nabi terdahulu, yang seluruh ajaran langit sepakat dengannya, karena ia memang sesuai dengan tabiat asal manusia”. Anda bisa merujuk keterangan ini di kitab (an-Nihayah fi Ghoribil Hadits, karya Ibnul Atsir, hal: 710), (Fathul Bari Syarah Shohih Bukhori, hadits no: 5889), (al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab, karya Imam Nawawi 1/338 ), (Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan Tirmidzi, hadits no: 2756).

Intinya, karena yang dimaksud dengan kata fitrah adalah ajaran seluruh Nabi yang sesuai dengan tabiat asal manusia, maka ia ada yang wajib, ada juga yang sunat… Bukankah khitan hukumnya wajib, meski beliau memasukkannya dalam fitrah sebagaimana hadits berikut?!

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ: الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ (متفق عليه)ـ

Dari Abu Huroiroh r.a., bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Fitroh itu lima”, atau dengan redaksi “Lima diantara fitroh“: khitan, istihdad, memotong kuku, mencabut (bulu) ketiak, dan memotong kumis. (Muttafaqun Alaih)

b. Imam al-Mawardi yang bermadzhab syafi’i juga telah menjawab syubhat ini:

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ، فَهُوَ أَنَّ الْفِطْرَةَ الدِّينُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا [الرُّومِ : 30] يَعْنِي دِينَهُمُ الَّذِي فَطَرَهُمْ عَلَيْهِ. وَمَا قَرَنَ بِهِ مِنْ غَيْرِ الْوَاجِبَاتِ لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ فِي حُكْمِهَا، لِأَنَّهُ قَدْ يَقْتَرِنُ الْوَاجِبُ بِغَيْرِ وَاجِبٍ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ (الْأَنْعَامِ: 141)

Adapun jawaban dari hadits “Sepuluh hal yang termasuk fitroh“, maka (jawabannya adalah), bahwa yang dimaksud dengan kata fitroh di sini adalah agama, sebagaimana dalam firman Alloh ta’ala: “Itulah fitroh yang manusia diciptakan atasnya” (Surat ar-Rum: 30), maksudnya adalah agama yang mereka diciptakan atasnya. Adapun hal-hal tidak wajib lainnya yang disebutkan bersamanya, itu tidak menunjukkan bahwa hal itu seperti hukumnya, karena kadang sesuatu yang wajib digandengkan dengan sesuatu yang tidak wajib, sebagaimana dalam firman-Nya: “Makanlah dari buahnya saat ia berbuah, dan tunaikanlah kewajiban (zakat)-nya saat panennya”. (Surat al-An’am: 141)

Intinya istidlal seperti di atas, adalah istidlal dengan dalalah iqtiron, dan sebagaimana disepakati oleh para ulama, hasil hukum yang diambil dari dalalah iqtiron itu sangatlah lemah, apalagi jika ia bertentangan dengan Nash Alqur’an, Hadits, dan Ijma’nya para ulama salaf.

3. Bukankah ada beberapa ulama terdahulu yang mengatakan bahwa memangkas habis jenggot, itu hukumnya makruh?

Jawaban: Memang ada beberapa ulama terdahulu yang mengatakan demikian, tapi kita harus beri catatan di sini, bahwa istilah makruh secara bahasa berarti: Sesuatu yang dibenci.

Dan dalam ucapan ulama salaf, istilah makruh ini memiliki dua kemungkinan: Ada yang makruh tahrim (yakni sesuatu yang dibenci dan sampai pada derajat haram), dan ada yang makruh tanzih (yakni sesuatu yang dibenci, tapi tidak sampai pada derajat haram). Hal ini sudah banyak disinggung oleh pakar ilmu ushul fikih, diantaranya:

ويطلق المكروه على الحرام، وهو كثير في كلام الإمام أحمد رضي الله تعالى عنه وغيره من المتقدمين. ومن كلامه: “أكره المتعة والصلاة في المقابر” وهما محرَّمان

Istilah makruh bisa dipakai untuk sesuatu yang diharamkan, istilah (makruh tahrim) ini banyak terdapat dalam perkataan Imam Ahmad -semoga Alloh meridloinya- dan banyak ulama terdahulu yang lainnya. Diantara perkataan Imam Ahmad adalah: “Aku me-makruh-kan nikah mut’ah dan sholat di pemakaman” padahal kedua hal ini adalah haram di dalam madzhabnya. (Syarah Kaukabul Munir 1/419)

Bahkan Ibnul Qoyyim mengatakan:

[قد يطلق لفظ الكراهة على المحرم] قلت: وقد غلط كثير من المتأخرين من أتباع الأئمة على أئمتهم بسبب ذلك، حيث تورَّع الأئمة عن إطلاق لفظ التحريم، وأطلقوا لفظ الكراهة، فنفى المتأخرون التحريم عما أطلق عليه الأئمة الكراهة، ثم سهل عليهم لفظ الكراهة، وخفت مؤنته عليهم، فحمله بعضهم على التنزيه، وتجاوز به آخرون إلى كراهة ترك الأولى، وهذا كثير جدا في تصرفاتهم؛ فحصل بسببه غلط عظيم على الشريعة وعلى الأئمة

Istilah makruh kadang dipakai untuk sesuatu yang diharamkan. Aku mengatakan: Sungguh, karena sebab ini, banyak para pengikut Imam Madzhab yang salah dalam menafsiri perkataan Imam mereka. Karena para Imam itu sangat wira’i dalam menggunakan istilah haram, sehingga mereka menggantinya dengan istilah makruh. Lalu setelah itu, mereka yang datang belakangan menafikan hukum haram pada apa yang dikatakan makruh oleh para imam itu. Kemudian (seiring perjalanan waktu), istilah makruh itu menjadi mudah dan ringan bobotnya bagi mereka, maka sebagian mereka memaknai istilah (makruh tahrim) itu dengan makruh tanzih, bahkan sebagian yang lain memaknainya dengan makruh tarkul aula, dan ini sangat banyak sekali dalam perkataan-perkataan mereka, sehingga karena sebab ini, terjadilah kesalahan yang fatal dalam (memahami) syariat dan perkataan para Imam itu. (I’lamul Muwaqqi’in 1/39)

Jika kita tahu, bahwa istilah makruh yang ada dalam perkataan ulama’ terdahulu, bisa berarti haram, dan bisa berarti makruh, lalu bagaimana kita mengetahui maksud perkataan imam tersebut? Diantara jawabannya adalah, dikembalikan kepada dalil atau illat yang dipakai oleh imam tersebut dalam menghukumi sesuatu tersebut. Jika dalilnya atau illat-nya menunjukkan keharaman, maka maksud dari istilah makruh itu adalah makruh tahrim, begitu pula sebaliknya, jika dalil atau illat-nya tidak sampai pada derajat haram, maka maksud dari istilah makruh itu adalah makruh tanzih, wallohu a’lam.

Dan karena dalil-dalil dari Alqur’an, Hadits, dan Ijma’ menunjukkan haramnya menggundul jenggot, maka yang dimaksud mereka dengan istilah makruh di sini adalah makruh tahrim, yakni makruh yang diharamkan. Sebagaimana istilah ini digunakan dalam Alqur’an dalam ayat berikut ini:

كلُّ ذلك كان سيئه عند ربك مكروها

Semua itu adalah kejahatan yang makruh (dibenci) di sisi Tuhanmu

Kita tahu sebelum ayat ini Alloh menyebutkan: Larangan menyekutukan Alloh, larangan durhaka kepada orang tua, larangan memubadzirkan harta, larangan membunuh anak dan jiwa, larangan mendekati zina, larangan memakan harta anak yatim secara zholim dll… lalu Alloh menutup larangan-larangan tersebut dengan ayat di atas, yang intinya mengabarkan kepada para hamba-Nya, bahwa semua yang dilarang itu termasuk sesuatu yang makruh, yakni makruh yang diharamkan (makruh karohah tahrimiyyah).

Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- juga bersabda:

احلفوا بالله، وبروا، واصدقوا، فإن الله يكره أن يحلف إلا به

Bersumpahlah dengan nama Alloh, penuhilah sumpah itu, dan lakukanlah dengan tulus, karena Alloh memakruhkan (membenci) sumpah kecuali dengan (nama)Nya

Dan kita tahu bersumpah dengan selain namanya adalah haram, tapi dihadits ini dipakai istilah makruh untuk menyebut keharaman tersebut.

4. Memotong jenggot untuk tujuan dakwah.

a. Cukuplah kaidah al-ghooyatu la tubarrirul wasiilah sebagai jawabannya. Intinya tujuan yang mulia tidaklah dapat menghalalkan cara yang haram untuk meraihnya. Sebagaimana kita tidak boleh menafkahi keluarga dengan jalan mencuri, kita juga tidak boleh berdakwah dengan mencukur jenggot.

b. Ridhonnas ghoyatun la tudrok = Kerelaan seluruh manusia adalah tujuan yang tak mungkin dicapai. Bahkan sebaik apapun kita, pasti ada saja yang memusuhi. Bukankah Nabi -shollallohu alaihi wasallam- memiliki akhlak yang sangat mulia, tapi tetap saja banyak manusia yang memusuhinya. Oleh karena itu, kita dituntut untuk sesuai dengan syariat, bukan untuk meraih kerelaan manusia.

Memang, kita dituntut untuk sebisa mungkin membawa dakwah ini, agar disenangi masyarakat, tapi hal itu hanya terbatas pada sesuatu yang tidak dilarang oleh syariat.

c. Diterimanya suatu dakwah, adalah harapan yang belum pasti kita raih, sedangkan memotong jenggot sudah pasti akan dilakukan dan jelas haramnya. Bagaimana kita mendahulukan sesuatu yang belum pasti, dan tidak menghiraukan sesuatu yang sudah pasti?! Bukankah “al-yaqiinu la yazuulu bisy syakk” = suatu keyakinan (kepastian) tidak boleh ditinggalkan karena keraguan… Dan pada keadaan seperti ini, bisa jadi akhirnya kita tidak mendapatkan dua-duanya, dakwah kita tetap tidak diterima, dan kewajiban memelihara jenggot juga tidak kita lakukan.

d. Dalam berdakwah, kita harus memperhatikan prioritas amalan. Kita harus tahu, mana yang wajib, dan mana yang tidak wajib. Mana yang menjadi tanggung jawab kita, dan mana yang bukan tanggung jawab kita.

Pada contoh kasus ini, kita dihadapkan pada tiga pilihan: memelihara jenggot, berdakwah dan diterimanya dakwah. Kita harus tahu hukum masing-masing. Memelihara jenggot adalah fardlu ain (kewajiban setiap muslim), berdakwah adalah fardlu kifayah (kewajiban sebagian muslim), sedang diterimanya dakwah bukan kewajiban, bahkan dia bukan tanggung jawab kita.

Maka, jika kita mampu mengusahakan tiga-tiganya, maka itulah yang terbaik. Jika itu tidak memungkinkan, maka paling tidak kita melakukan yang wajib, yakni memelihara jenggot dan berdakwah. Jika itu masih tidak memungkinkan, maka paling tidak kita mendahulukan yang farlu ‘ain, dari pada yang fardlu kifayah. Wallohu a’lam.

5. Ada orang yang menggundul jenggotnya, tapi lebih bagus akhlaknya dari pada orang yang memelihara jenggotnya. Oleh karena itu, tidak usah lah kita terlalu mempermasalahkan hal ini.

Ini adalah dalil yang sangat lemah, karena hanya berdasar logika tanpa dalil syariat. Oleh karenanya gampang sekali dijawab. Diantara jawabannya:

a. Kita bisa balik perkataan di atas, dengan mengatakan: “Ada juga -bahkan sangat banyak- orang yang memelihara jenggot, yang akhlaknya jauh lebih bagus, dari orang yang tidak memanjangkan jenggotnya”. Bukankah Rosul -shollallohu alaihi wasallam- dulu berjenggot?!… Adakah orang yang lebih bagus akhlaknya dari beliau?!… Belum lagi para sahabat beliau dan para imam, bukankah mereka dulu berjenggot?!…

b. Ketika kita mengatakan wajibnya berjenggot, bukan berarti kita tidak menganjurkan akhlak yang baik. Keduanya merupakan Syariat Islam yang suci dan mulia. Makanya kita katakan: “Orang yang akhlaknya bagus tapi tidak berjenggot, maka akan lebih baik lagi bila ia memelihara jenggotnya”, dan sebaliknya “Orang yang berjenggot tapi akhlaknya tidak baik, maka akan lebih baik lagi bila ia menerapkan akhlak yang mulia”.

c. Insan muslim yang melakukan satu Syariat Islam, tentunya lebih baik, daripada orang yang sama sekali tidak melakukan syariat islam. Oleh karena itu, orang yang berjenggot meski belum mampu membaikkan akhlaknya, itu masih lebih bagus dari pada orang yang menggundul jenggotnya dan akhlaknya buruk.

d. Baik dan tidaknya akhlak, seringkali merupakan suatu yang relatif, dan dipengaruhi oleh sikon, standar si penilai, dan adat kebiasaan masyarakat, sehingga kurang bisa dijadikan standar baku untuk menilai tingkah laku seseorang. Ditambah lagi, Seorang muslim itu dituntut untuk berakhlak kepada Alloh dan kepada sesama. Dan terkadang, ketika ia harus mendahulukan akhlak kepada Alloh, -misalnya ketika mengingkari kemungkaran yang ia lihat-, orang-orang mengira ia kurang berakhlak kepada sesama, padahal kadang hal itu merupakan keharusan bagi dia.

e. Jika logika di atas benar, bagaimana jika keadaannya seperti ini:

- Ada orang yang sukanya mabuk, tapi akhlaknya kepada orang luar biasa bagus, disamping sifatnya yang sangat dermawan. Apa kita tidak mempermasalahkan tindakan mabuknya?!

- Jika ada orang yang males sholat lima waktu, tapi akhlaknya mulia, dan sering membantu orang yang sedang membutuhkan bantuan. Apa kita tidak mengingatkannya untuk melaksanakan kewajibannya sholat lima waktu?!

- Jika ada orang yang akhlaknya dan sosialnya sangat bagus, tapi sering bermain judi. Apa kita tidak mempermasalahkan permainan judinya?!… Dan masih sangat banyak contoh-contoh lainnya…

Intinya, memanjangkan jenggot itu bukanlah seluruh Islam, sebagaimana akhlak yang mulia, juga bukan seluruh islam. Keduanya merupakan bagian dari Ajaran Islam… Sehingga bisa jadi orang yang memelihara jenggot itu meninggalkan syariat islam yang lain, begitu pula orang berakhlak mulia, bisa jadi mereka meninggalkan syariat islam yang lain… Dan kita disini, hanya membicarakan salah satu syariat islam yang wajib saja, yakni memelihara jenggot…

f. Sebagaimana kita diperintah untuk mengingkari orang yang meninggalkan sholat wajib lima waktu, kita juga diperintah untuk mengingkari orang yang meninggalkan kewajiban memanjangkan jenggot. Karena keduanya sama-sama diwajibkan, meski derajat wajibnya tidak sama… Itulah bentuk kasih sayang seorang muslim kepada saudaranya, karena ia tidak ingin saudaranya jatuh dalam kemaksiatan, sehingga mendapat siksaan yang pedih dari-Nya.

g. Jika kita tidak mempermasalahkan hal ini, padahal ia adalah kewajiban yang ditinggalkan dan keharaman yang banyak dilakukan, maka kapan kita akan amar ma’ruf nahi munkar?!…

Nabi -shollallohu alaihi wasallam- menyabdakan, bahwa sedikit demi sedikit Syariat Islam itu akan terkikis. Dan diantara sebabnya adalah tidak adanya amar ma’ruf ketika yang ma’ruf ditinggalkan, dan tidak adanya nahi mungkar ketika yang mungkar banyak dilakukan.

Misalnya, jika saat ini tidak ada yang nahi munkar kepada orang melakukan syirik dan bid’ah, besoknya tidak ada orang yang mengingkari orang yang menggundul jenggotnya, lalu besok tidak ada yang mengingkari riba, lalu besoknya lagi tidak ada yang mengingkari zina, lalu besoknya lagi tidak ada yang mengingkari orang yang meninggalkan shalat wajib lima waktu… Lalu besoknya tidak ada yang amar ma’ruf untuk mentauhidkan Alloh dan menghidupkan sunnah Rosul -shollallohu alaihi wasallam-, lalu besoknya tidak ada yang menyuruh zakat, lalu besoknya tidak ada yang menyuruh membaca Alqur’an… dst… Tentunya lambat laun, Syariat Islam ini akan terlupakan dan terkikis… Oleh karena itu, marilah sebisa mungkin menjadi Pejuang Islam, dengan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam hal-hal yang kita mampui.

h. Inti dari syubhat ini adalah mengambil kesalahan yang dilakukan oleh orang yang berjenggot, untuk menjatuhkan syariat memelihara jenggot, atau sebaliknya menampakkan kebaikan orang yang menggundul jenggotnya untuk melegalisasi tindakan menggundul jenggotnya. Syubhat ini bisa juga dikembangkan dalam banyak variasi, misalnya:

- Ada orang yang berjenggot, tapi ia tidak merawatnya, sehingga menimbulkan bau tak sedap, dan sangat mengganggu orang yang didekatnya. Padahal kita tahu Islam melarang kita mengganggu orang lain.

- Ada orang yang berjenggot, tapi malah jadi teroris, dan banyak membuat keonaran. Padahal Islam tidak mengajarkan teroris, malah sebaliknya islam adalah agama yang rahmatan lil alamin.

- Ada orang berjenggot tapi ia tidak sholat, masih mending tetangga saya, meski tidak berjenggot ia rajin ke masjid.

- Di tempat saya ada orang yang berjenggot, tapi sering mencuri. Padahal banyak dari temannya yang tidak berjenggot, tapi jauh lebih baik dari yang berjenggot itu.

- Di kos saya ada yang kecanduan obat-obatan terlarang, padahal dia sudah berjenggot.

- Ada juga orang yang menggundul jenggotnya, tapi dia sangat santun dalam tutur kata dan sangat menghormati orang lain.

- Saya punya teman yang tidak memelihara jenggot, tapi ia sangat dermawan, dan sangat peduli dengan orang di sekitarnya.

Dan selanjutnya, anda bisa meneruskan dengan contoh-contoh yang lain…

Bagaimana menjawabnya…??

Sangat dan sangat mudah sekali… Dalam kasus-kasus di atas, ada dua masalah yang harus dibedakan, masalah memelihara jenggot, dan masalah yang diikutkan bersamanya… Dan kedua masalah itu, harus dipilah-pilah dan di bahas sesuai dalil masing-masing…

Misalnya:

- Ada orang yang berjenggot, tapi tidak merawatnya sehingga mengganggu orang lain. Maka kita katakan, dia sudah bagus dalam memanjangkan jenggotnya, tapi masih teledor karena tidak merawatnya. Yang seharusnya adalah disamping ia memanjangkan jenggotnya, ia juga harus merawatnya, agar tidak mengganggu orang lain.

- Ada yang berjenggot, tapi malah jadi teroris. Maka kita katakan, dia benar dalam hal memelihara jenggotnya, tapi salah dalam tindakan terorisnya. Yang seharusnya adalah disamping ia memelihara jenggotnya, ia juga harus meninggalkan tindakan terorisnya.

- Ada yang dermawan, meski ia tidak memelihara jenggotnya. Maka kita katakan, dia sudah baik dengan kedermawanannya, tapi masih kurang dalam memelihara jenggotnya. Yang seharusnya adalah, disamping ia dermawan, ia wajib memelihara jenggotnya…

Dan selanjutnya, anda bisa jawab sendiri contoh-contoh kasus yang lain.

Alhamdulillah… Sampai juga kita di penghujung tulisan ini… Penulis yakin, banyak kekurangan di sana-sini dalam tulisan ini. Tidak lain, itu bersumber dari kedangkalan ilmu penulis… Apa yang benar dalam tulisan, itu adalah semata-mata dari Alloh, adapun jika ada kesalahan, itu adalah dari pribadi penulis dan dari setan, sedang Alloh dan Rosul-Nya bebas dari kesalahan itu…

Tapi, meski dengan keterbatasan yang ada, penulis tetap berharap, semoga tulisan ini bermanfaat bagi diri penulis, juga para pembaca yang budiman… Dan semoga kita bisa mengamalkannya dalam kehidupan, sehingga menjadi sebab kebahagiaan kita di dunia ini, dan di akhirat nanti… Kurang lebihnya mohon maaf… Wa subhaanakalloohumma wa bihamdik, asyhadu alla ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaiih…

Bait-bait Indah… Yg menggugah…

Bait-bait Indah… Yg menggugah…

21 Juli 2010 pada 12:46 (Hikmah)

i

6 Votes

Quantcast

Bait dari Ali bin Abi Tholib -rodliallohu anhu-:

الناس من جهة التمثيل أكفاء أبوهم آدم والأم حواء

نفس كنفس وأرواح مشاكلة وأعظم خلقت فيهم وأعضاء

فإن يكن لهم في أصلهم شرف يفاخرون به فالطين والماء

ما الفخر إلا لأهل العلم إنهم على الهدى لمن استهدى أدلاء

وقدر كل امرئ ما كان يحسنه وللرجال على الأفعال أسماء

وضد كل امرئ ما كان يجهله والجاهلون لأهل العلم أعداء

ففز بعلم تعش حيا به أبدا الناس موتى وأهل العلم أحياء

===

Manusia dipandang dari luarnya itu sama

Ayah mereka Nabi Adam sedang Ibu mereka Siti Hawa

-

Badan mereka sama, begitu pula arwahnya

Mereka adalah susunan tulang dan anggota badannya

-

Jika saja mereka berhak dg kemuliaannya asal-usul yg mereka banggakan

Maka (banggakah mereka dg) tanah dan air (asal usul kehidupan)?!

-

Kebanggaan tidaklah pantas kecuali untuk para ulama

Krn mrk di atas petunjuk, dan jg sbg penunjuk bagi yg menghendakinya

-

Harga diri setiap orang adalah pada kebaikan yg dilakukannya

Oleh karenanya orang-orang memiliki julukan dari hasil pekerjaannya

-

Musuh setiap orang itu kebodohannya

Krn itulah orang-orang bodoh menjadi musuh para ulama

-

Maka raihlah kemenangan dg ilmu -yg dgnya kau kan hidup selamanya-

Lihatlah bagaimana manusia mati, sedang para ulama ttp hidup (namanya)!

—-

Bait dari Imam Syafi’i -rohimahulloh-:

أُحِبُّ الصَّالحين و لَسْتُ مِنْهُمْ *** لَعَلِّيَ أَن أنالَ بهم شفاعهْ

وأَكرهُ من تجارتُه المعاصي *** و لو كنّا سواءً في البِضاعهْ

===

Aku mencintai orang-orang saleh meski aku bukan dari mereka

Dg harapan; dg mencintai mereka aku nanti mendapatkan syafaatnya

-

Dan aku membenci orang yg maksiat adalah dagangannya

Meski kami sama-sama dalam barang dagangannya

Pesan berharga dari Syeikh Albani -rohimahulloh-

Pesan berharga dari Syeikh Albani -rohimahulloh-

27 Agustus 2010 pada 06:35 (Tak Berkategori)

Bismillah, was sholatu was salamu ala rosulillah, wa ala alihi wa shohbihi waman waalaah…

Kadang “mampir” di benak kita rasa lelah, lemah, dan ”setitik” putus asa ketika melihat keadaan umat ini… Belum lagi biasanya hal itu dibumbuhi dg sabda “Tiada hari kecuali yg setelahnya akan lebih buruk”… Nah, saat keadaan hati seperti ini -semoga tidak demikian-, maka ada baiknya kita menyimak petuah dari Sang Ahli Hadits di abad ini, Syeikh Nashiruddin al-Albani berikut ini:

“Wahai saudaraku seiman… Sungguh diharuskan atasmu untuk:

- Bertakwa (takut) kepada Alloh dimanapun kamu berada.

- Waspada terhadap sebab-sebab kebinasaan.

- Memperingatkan kedua hal itu kepada orang yg hidup di sekitarmu; baik istri, anak, tetangga, ataupun selain mereka.

- Membantu kebenaran dimanapun kamu berada.

- Membantu meninggalkan kebatilan dimanapun kamu berada.

- Tulus dalam menjalankan semua hal di atas, dan ketika di jalan Alloh, janganlah kamu gentar terhadap celaan orang lain.

- Bawalah terus senjatamu, dan berjihadlah… Yakni mengingkari kemungkaran, dan mengajak kepada kebenaran.

- Teruslah dalam keadaan berjihad, bersabar, dan menguatkan kesabaran untuk meneguhkan sesuatu yg haq dan mendakwahkannya, dg perkataan anda yg baik dan cara penyampaian yg bagus… bukan dg cara yg keras dan kasar.

- Jadilah mujahid dalam ucapan, (amalan) jihad, dan (amalan) dakwah kepada Alloh, dg amar ma’ruf nahi mungkar… Karena dakwah kepada Alloh adalah jihad, amar ma’ruf nahi mungkar adalah jihad, dan ini merupakan senjata seorang mukmin yg bermanfaat bagi para hamba-Nya… Senjata bukanlah pedang atau senapan saja, tapi dakwah juga merupakan “senjata” yg bermanfaat bagi para hamba-Nya… (Berdakwah) dg hikmah, perkataan yg baik, cara yg bagus, dan dg menyertakan dalil, sebagaimana firman Alloh -jalla wa’ala-:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dg hikmah dan pengajaran yg baik, serta debatlah mereka dg cara yg lebih baik.

Dia juga berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yg lebih baik ucapannya melebihi orang yg menyeru kepada jalan Alloh dan mengerjakan kebajikan, serta mengatakan: ‘sungguh aku termasuk orang-orang muslim (yg berserah diri)’.

Maka janganlah anda putus asa, sungguh tidaklah pantas berputus asa… Seorang mukmin hendaknya selalu berusaha dalam kebenaran, mencarinya, mendakwahkannya, menyenanginya, dan takjub dengannya… Tidak malah mengatakan; orang ini telah teledor, semuanya telah usai (dalam takdir-Nya), dan semua orang telah rusak… Tidak, (jangan mengatakan demikian), karena di dalam masyarakat masih ada benih-benih kebaikan, masih ada orang-orang yg mencintai kebaikan, dan masih ada orang-orang yg menginginkan sesuatu yg haq… Maka seharusnya anda berpartisipasi dalam kebaikan, waspada dari yg batil, dan memperingatkan orang lain dari kebatilan… Janganlah anda putus harapan dalam usaha menegakkan kebenaran dan meruntuhkan kebatilan… (Mulailah) dari dirimu, saudara-saudaramu, negaramu, dan saudara-saudaramu seiman yg lainnya, dg cara saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan, dan juga saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran.

Karena jika orang-orang (yg baik) itu putus harapan, sehingga tidak ada usaha, maka kemungkaran akan merajalela dan menyebar, sebaliknya kebaikan akan menjadi sedikit, wala haula wala quwwata illa billah… Akan tetapi selama mereka (yg baik) menyadari kewajibannya, selama mereka berusaha melawannya, tentu keburukan akan terus berkurang…

Dan tidak samar lagi apa yg ada sekarang -walhamdulillah-, banyak pergerakan Islam yg bermunculan, baik dari generasi muda maupun dari yg lainnya, dan ini merupakan kabar yg sangat baik… Tp disana juga ada gerakan-gerakan setan, yg menyeru kepada kebejatan, maka seharusnya hal itu dilawan… Seharusnya kita mendukung yg haq dan mereka yg menegakkannya, serta berusaha untuk menghalau dan mematikan kebatilan dan mereka yg mengadakannya, (tentunya) sesuai kemampuan dan fasilitas (yg ada), dan dg jalan saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan, dg jalan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Begitu pula dalam masalah menasehati para penguasa, menasehati orang-orang penting negara, dan siapapun orang yg mampu untuk kamu nasehati, karena agama adalah nasehat, janganlah putus asa, dan janganlah kau katakan: perkara ini telah usai (dalam takdir-Nya)… Akan tetapi, seharusnya kamu menasehati dan mengarahkannya kepada yg baik, ingatlah firman Alloh -jalla wa’ala-:

وَلا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ

Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Alloh

Maka, kita wajib menasehati karena Alloh dan untuk para hamba Alloh… Alloh -subhanahu wata’ala- menerangkan sifat-sifat orang yg beruntung dan selamat dalam firman-Nya:

وَالْعَصْرِ * إِنَّ الْأِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ * إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa… sesungguhnya seluruh manusia itu benar-benar dalam kerugian… kecuali orang-orang yg beriman, beramal saleh, saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati dalam kesabaran.

Inilah sifat-sifat orang yg beruntung… keempat hal ini merupakan pokok-pokok keselamatan… semua ini merupakan sebab-sebab kebahagiaan… dan semua ini merupakan pokok-pokok baiknya suatu masyarakat…

Masyarakat yg bisa menjalankan keempat pokok ini; beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya, beramal sholih, saling menasehati dalam kebaikan, dan saling menasehati dalam kesabaran, maka itulah masyarakat yg baik, bahagia, dan beruntung… Jika suatu masyarakat meninggalkan keempat pokok ini atau sebagiannya, maka akan datang padanya kerugian dari segala arah -wala haula wala quwwata illa billah-.

Kita memohon hidayah dan taufiq kepada Alloh untuk kaum muslimin seluruhnya… Semoga Alloh membalas kebaikan kepada orang-orang yg berjasa kepada kita… Semoga Dia memberikan manfaat kepada kita semua dari apa yg kita ketahui dan kita pelajari… Semoga Dia menganugerahi kita hati dan amal yg baik, serta petunjuk kepada jalan yg terbaik…

Aku juga memohon kepada-Nya agar menuntun para pemimpin kita menuju ridlo-Nya, menolong mereka dalam mematikan kebatilan, menampakkan yg haq, serta memperbaiki keadaan… semoga Dia memperbaiki orang-orang dalam mereka, menuntun mereka kepada seluruh kebaikan dan menolong mereka di dalamnya, serta melindungi mereka dari segala keburukan… Sungguh Dia itu maha mendengar lagi dekat… Semoga sholawat dan salam terhaturkan kepada Nabi kita Muhammad, para keluarga, dan para sahabatnya”.

[Bagi yg ingin membaca teks aslinya, silahkan merujuk ke Maktabah Syamilah, Durus Syeikh Albani, jilid 19, hal 4]

Senin, 31 Mei 2010

Sabtu, 29 Mei 2010

Bimbingan bagi Para Pemuda yang Ingin Kembali ke Jalan Allah

Bimbingan bagi Para Pemuda yang Ingin Kembali ke Jalan Allah

Oleh: Asy Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Soal:
Saya adalah seorang pemuda yang ingin bertaubat, kembali ke jalan Allah. Apa yang harus saya lakukan agar bisa menjauh dari perbuatan maksiat?

Jawab:
Bertaubat kepada Allah adalah perkara yang wajib, demikian juga bersegera dalam taubat adalah perkara yang wajib. Tidak boleh mengakhirkan taubat sampai terlambat, karena seseorang tidak tahu kapan maut menjemputnya.

Allah ta’ala berfirman,

{إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوَءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُوْلَـئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ}

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kebodohan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang taubatnya diterima Allah.” (An Nisa: 17)

Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

(أتبِعِ السَّيِّئة الحسنة تَمحُها)
“Ikutilah kejelekan dengan kebaikan, dia akan menghapuskan kejelekan itu.” (HR. At Tirmidzi dalam Sunannya [6/204], dari hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)

Mengikuti kebaikan di sini maknanya adalah bersegera, karena termasuk dari adab taubat adalah bersegera dan tidak mengakhirkannya.

Demikian juga jika Anda bertaubat kepada Allah, hendaknya Anda menjauhi sebab-sebab yang dapat menjerumuskan diri Anda ke dalam perbuatan dosa. Jauhilah teman yang jelek, jauhi teman duduk yang jelek, karena merekalah yang menyebabkan Anda terjerumus ke dalam dosa-dosa.

Pergilah Anda kepada orang-orang yang shalih, duduklah bersama mereka, hadirlah di majelis-majelis ilmu, bersegera datang ke masjid, memperbanyak membaca Al Qur’an dan berzikir kepada Allah subhanahu wata’ala. Inilah yang sepantasnya diperbuat oleh seseorang yang bertaubat kepada Allah: menjauhi segala sebab kemaksiatan, dan mendekatkan diri dengan perkara-perkara yang baik serta sebab-sebab keta’atan.

(Sumber: Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Al Fauzan, Jilid I, no 168)

Sepuluh Perkara yang Tidak Bemanfaat

Sepuluh Perkara yang Tidak Bemanfaat
Oleh:
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Ada sepuluh perkara yang tidak akan membawa manfaat sama sekali yaitu :

1. Ilmu yang tidak diamalkan.

2. Amal yang tidak ikhlas.

3. Harta yang tidak dipersembahkan untuk akhirat.

4. Hati yang tidak mencintai Allooh.

5. Badan yang tidak taat dan tidak mengabdi kepada Allooh.

6. Kecintaan yang tidak diridhoi oleh orang yang dicintai dan tidak menjalankan
perintah-perintah Allooh.

7. Waktu yang terbuang, yang tidak digunakan untuk mengetahui Allooh dan
medekatkan diri kepada-Nya.

8. Pemikiran yang berputar-putar pada sesuatu yang tidak bermanfaat.

9. Pengabdian yang tidak mendekatkan diri kepada-Nya, tidak mendatangkan
kemaslahatan dunia.

10. Rasa takut dan harapan yang ditujukkan kepada orang
yang nasibnya di tangan Allooh, sehingga dia sendiri tidak
memiliki untuk dirinya bahaya, manfaat, kematian,
kehidupan dan tempat kembali.
--------------------
Sumber: Kitab Al-Fawa’id

Rabu, 26 Mei 2010

Pandangan Syekh Ibn Baz Tentang Jam'iyyah

Pandangan Syekh Ibn Baz Tentang Jam'iyyah

Syaikh Ibn Baz pernah ditanya dengan pertanyaan yang panjang intinya:

"Kami sekumpulan dai dan santri di Sudan pengikut manhaj salaf shalih, tujuan kami adalah mencari ilmu syar'I dan menyebarkannya di tengah-tengah masyarakat luas, dakwah mengajak ke jalan Allah sesuai dengan pemahaman Salaf di berbagai markaz (pusat kegiatan/centre) di seluruh pelosok negeri. Termasuk tujuan kami adalah mengajarkan manusia perkara agama mereka dalam bidang tauhid, rukun Islam, serta memberantas syirik dab bid’ah. Karenanya kami saling bahu membahu dengan semua pihak yang bergerak di bidang dakwah yang sesuai dengan kebenaran, kami saling membantu secara syar'I, jauh dari hizbiyah (kegolongan), atau fanatik terhadap tokoh dan aturan, atau menerapkan konsep wala' dan bara' atas dasar itu.
Sebaliknya yang kami lakukan adalah cinta di jalan Allah dan membenci karena Nya, kami berwala' karena Allah dan memusuhi karena Nya berdasarkan pemahaman salafus sholih. Kami mendirikan pusat-pusat kegiatan taklim, masjid, pesantren, halaqah tahfidzul Qur'an, perpustakaan umum, menyebarkan kitab-kitab dan tulisan ringkas yang ilmiah dan bermanfaat, juga kaset-kaset agama, hijab serta mengikat umat dengan ulama'. Atas dasar pemikiran inilah kami mendirikan sebuah lembaga salafiyah ilmiah yang menghimpun sejumlah alumnus Universitas Islam di Madinah, Saudi Arabia, dengan nama Jam'iyah al-Kitab was sunnah al-Khairiyah yang berpusat di Khortum.
Apakah ada larangan syar'i tentang upaya dalam rangka mewujudkan cita-cita yang telah kami sebutkan melalui Lembaga jam’iyyah tersebut tanpa adanya keharusan untuk menjalankan tanzhim jama'ah tertentu di Sudan - karena memang kami memiliki beberapa koreksi penting atas mereka – dengan tetap menjaga dan memelihara ukhuwwah dan saling tolong menolong dengan mereka dalam kebenaran? Berikanlah fatwa kepada kami semoga Allah membalas kebaikan anda.

Syaikh Ibn Baz menjawab:

Manhaj atau metodologi yang anda sebutkan di atas dalam dakwah kepada Allah, serta mengarahkan manusian kepada kebaikan dengan berpijak kepada petunjuk al-Qur'an dan Sunnah berdasarkan pemahaman salafus sholih, maka kami wasiatkan kepada anda untuk komitmen dan istiqamah di atasnya. Juga kami wasiatkan untuk bahu membahu bersama saudara-saudara anda para da'i di Sudan dan lainnya dalam hal yang sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah, juga yang diamalkan oleh ulama salaf dalam menjelaskan tauhid beserta dalil-dalilnya, memperingatkan dari kesyirikan dan semua sarananya, juga memperingatkan manusia dari bid'ah dan beragam kemaksiatan dengan dalil-dalil syar'I serta uslub yang baik. Sebagai pengamalan firman Allah:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (٣٣)
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS. Fushshilat:33)
Dan firman Allah:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)
Katakanlah:"Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf:108)
Juga firman Allah:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (١٢٥)
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Nahl:125)
Juga sabda Rasulullah Sholallohu 'alaihi wa sallam :
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
"Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya seperti pahala orang yang mengamalkannya." (HR. Muslim).
Juga sabda Rasulullah Sholallohu 'alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib Rodiallohu 'anhu , ketika mengutusnya ke Khaibar untuk mendakwahi orang-orang Yahudi dan Nashrani, dan memberitahukan kepada mereka apa yang diwajibkan atas mereka dari hak-hak Allah:
فَوَاللهِ لأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمُرِ النَّعَم
"Demi Allah, jika Allah memberi petunjuk kepada satu orang saja lantaran kamu, tentu hal itu lebih baik bagimu dari pada onta merah". Hadits yang disepakati keshahihannya.
Ayat dan hadits yang berbicara dalam masalah ini cukup banyak. Kami mohon kepada Allah agar memberikan petunjuk dan pertolongan kepada anda, dan menjadikan kami serta anda sebagai para pemberi hidayah yang mendapatkan petunjuk, sesungguhnya Allah adalah Mahamulia dan dermawan, semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, juga keluarga dan para sahabatnya."
(Majmu' al-Fatawa VIII/435)

Akhirnya, kita bisa menarik kesimpulan bahwasanya amal jama'i adalah salah satu bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan dan ketakwaan, saling bahu membahu dalam membela kebenaran, karena itu disyariatkan dan dianjurkan berdasarkan keumuman dalil yang menunjukkan fadhilah berjama'ah, persatuan dan saling tolong menolong, selama hal itu tidak membukan pintu untuk menciptakan kegolongan, fanatisme terhadap tokoh dan lambang, atau menyebabkan menolak kebenaran dan mengingkarinya ketika hal itu datang dari selain anggota. Wallahu a'lam.

Selasa, 25 Mei 2010

Agar Anda Dicintai Allooh.........!

Agar Anda Dicintai Allooh.........!

10 Kiat Dari Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyzh

1. Membaca Al-Qur’an dengan Memahami dan Merenungkan isinya.

2. Mendekatkan Diri pada Allooh Ta’ala dengan Amal Sunnah Setelah Fardhu.

3. Dzikir dengan Lisan, Hati dan Perbuatan.

4. Mencitai Allooh Ta’ala di Atas Segalanya.

5. Mencintai Allooh dengan Memehami Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan Perbuatan Alloo.

6. Mengakui Karunia dan Nikmat Allooh Ta’ala Lahir dan Batin.

7. Memiliki Hati yang Luluh dan Khusyu di Hadapan Allooh.

8. Menyendiri Saat Bermunajat dan Beribadah Kepada Allooh Ta’ala dengan Hati yang Khusyu dan Penuh Adab.

9. Bergaul dengan Orang yang Sungguh-sungguh Mencintai Allooh.

10. Meruntuhkan Tembok Penghalang Antara Hati dengan Allooh Ta’ala.

Sebab-sebab Bertambahnya Kimanan

Sebab-sebab Bertambahnya Kimanan

1. Menuntut Ilmu yang Bermanfaat yang Bersumber dari Kitabullooh dan Sunnah Rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.

2. Membaca al-Qur’anul Karim dan Merenunginya.

3. Mengenal Nama-nama Allooh yang indah dan Sifat-sifat-Nya yang Agung

4. Merenungi Perjalanan Hidup Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang Mulia.

5. Merenungi Keindahan Agama Islam.

6. Membaca Perjalanan Hidup Salafush Sholeh.

7. Merenungi Ayat-ayat Allooh yang ada di Alam Semesta, seperti: Bumi, Udara, Lautan, Malam dan Siang, Matahari dan Bulan, Hewan, Sistem yang Allooh terepkan di alam semesta, dan Diri Manusia.

8. Giat Melakukan Amal Shaleh dengan Ikhlas ( Semata-mata Mengharapkan Wajah Allooh ) serta Memperbanyak dan Melakukannya dengan Terus-menerus. Baik amalan Hati, Lisan dan Amalan Anggota Badan.

Sebab-sebab Berkurangnya Keimanan

1. Sebab-sebab Internal ( Faktor dari Dalam ) misalnya:

a. Bodah, yaitu Lawan dari Ilmu, Kebodohan identik dengan dosa.

b. Lalai, Berpaling dan Lupa.

c. Melakukan Kemaksiatan dan Perbuatan Dosa.

d. Jiwa yang Memerintakan Kepada Kejelekan.

2. Sebab-sebab Eksternal ( Faktor-faktor dari Luar ) misalnya:
a. Syaitan.
b. Dunia dan Fitnahnya.
c. Teman-teman yang jahat.

Goncangan Kehidupan

Goncangan Kehidupan
Oleh:
Syekh Mamduh Farhan al-Buhairhi
Sesungguhnya manusia akan melalui kehidupannya dengan banyak
Percobaan, sebagiaanya berupa goncangan-gocangan, yang karnanya
dia akan banya merasakan sakit.
- Di saat engkau menghadapi kemelut jiwa dan tidak mendapatkan teman di sisimu........goncangan....
- Di saat engkau tafsirkan kalimat dan perbuatanmu sebagai kalimat seorang pendendam.......goncangan...
- Di saat bertahun-tahun engkau tidak bisa merealisasikan angan-anganmu.......goncangan...
- Di saat seluruh apa yang telah kamu bangun pergi bersama hembusan angin bak fatamaorgana.........goncangan...
- Di saat kamu dikhianati oleh orang yang berasal darimu dan hidup ditengah-tengahmu........goncangan...
- Di saat orang yang paling dekat denganmu meninggal dunia......goncangan...
- Di saat engkau bertemu denagan seorang teman karib yang lama tidak bertemu, namun dia tidak mengingatmu......goncangan...
- Di saat engkau dicela, dan ternyata engkau dapati sang pencela adalah saudaramu sendiri........goncangan...
- Di saat orang yang kamu cintai berterus terang bahwa engkau tidak bernilai baginya sedekitpun........goncangan...
- Di saat engkau membongkar bahwa sumber kenistaan atas dirmu ternyata adalah dari orang yang paling dekat denganmu..... goncangan...
Sesungguhnya, segala goncangan ini, masih mungkin bagi jiwamu untuk memikul beban beratnya.........namun goncangan yang hakiki adalah.........
Apa yang akan terjadi.......???
Yaitu disaat engkau dapati dirimu seorang diri di dalam kubur tanpa seorangpun..........
Engkau telah meninggalkan semua orang yang dulu bersamamu.......
Serta tidak ada satupun yang tertinggal bersamamu kecuali amalmu yang shalih...........
Dan goncangan yang terbesar adalah saat engkau berdiri di hadapan Allooh Ta’ala tanpa amal shalih..............
Tanpa shalat.......
Tanpa dzikir kepada Allooh..........
Tanpa berjihad melawan hawa nafsu.......
Maka jadilah kamu sebagai orang yang bersiap-siap dalam menghadapi goncangan abadi yang tempat kembalimu akan tetap disana......
Apakah menuju satu taman dari taman surga ataukah satu liang dari
liang-liang neraka..?
Ya Allooh ......barikanlah rahmat kepada kami, dan jangan sekai-kali mematikan kami kecuali Engkau ridho kepada kami.
Wahai Robb dzat yang akan menolong orang-orang yang lemah, kami bermunajat kapda-Mu, siapakah penolong bagi kami selain-Mu.
Ya Allooh.......rahmatilah kami jika kami dipikul diatas pudak-pundak para pelayat.
Ya Allooh.......rahmatilah kami jika kami telah ditaburi tanah, kuburanpun ditutup diatas kami.
Ya Allooh.......sesungguhnya Engkau memiliki para kekasih yang akan Engkau masukkan kedalam surga tanpa hisab dan tanpa adzab.
Maka jadikanlah kami dan orang-orang yang mebaca tulisan ini termasuk golongan mereka juga. Amin.....ya mujibas sailin.

Minggu, 23 Mei 2010

Hasihat-nasihat Para Ulama Salaf

Hasihat-nasihat Para Ulama Salaf

Kewajiban Mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:
“Sederhana dalam As-Sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh di dalam bid’ah.” (Ibnu Nashr, 30, Al-Lalikai 1/88 no. 114, dan Al-Ibanah 1/320 no. 161)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
“Tetaplah kamu beristiqamah dan berpegang dengan atsar serta jauhilah bid’ah.” (Al-I’tisham, 1/112)
Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata:
Ulama kita yang terdahulu selalu mengatakan: “Berpegang dengan As-Sunnah adalah keselamatan. Ilmu itu tercabut dengan segera, maka tegaknya ilmu adalah kekokohan Islam sedangkan dengan perginya para ulama akan hilang pula semua itu (ilmu dan agama).” (Al-Lalikai 1/94 no. 136 dan Ad-Darimi, 1/58 no. 16)
Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:
“Berhati-hatilah kamu, jangan sampai menulis masalah apapun dari ahli ahwa’, sedikit atau pun banyak. Berpeganglah dengan Ahlul Atsar dan Ahlus Sunnah.” (As-Siyar, 11/231)
Al-Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata:
“Berpeganglah dengan atsar Salafus Shalih meskipun seluruh manusia menolakmu dan jauhilah pendapat orang-orang (selain mereka) meskipun mereka menghiasi perkataannya terhadapmu.” (Asy-Syari’ah hal. 63)
(Lammuddurril Mantsur minal Qaulil Ma`tsur, karya Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al-Haritsi)
Introspeksi Diri
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata:
“Sesungguhnya seorang mukmin adalah penanggung jawab atas dirinya, (karenanya hendaknya ia senantiasa) mengintrospeksi diri kerena Allah Subhanahu wa ta’ala semata.”
“Adalah hisab (perhitungan amal) di Yaumul Qiyamah nanti akan terasa lebih ringan bagi suatu kaum yang (terbiasa) mengintrospeksi diri mereka selama masih di dunia, dan sungguh hisab tersebut akan menjadi perkara yang sangat memberatkan bagi kaum yang menjadikan masalah ini sebagai sesuatu yang tidak diperhitungkan.”
“Sesungguhnya seorang mukmin (apabila) dikejutkan oleh sesuatu yang dikaguminya maka dia pun berbisik: ‘Demi Allah, sungguh aku benar-benar sangat menginginkanmu, dan sungguh kamulah yang sangat aku butuhkan. Akan tetapi demi Allah, tiada (alasan syar’i) yang dapat menyampaikanku kepadamu, maka menjauhlah dariku sejauh-jauhnya. Ada yang menghalangi antara aku denganmu’.”
“Dan (jika) tanpa sengaja dia melakukan sesuatu yang melampaui batas, segera dia kembalikan pada dirinya sendiri sembari berucap: ‘Apa yang aku maukan dengan ini semua, ada apa denganku dan dengan ini? Demi Allah, tidak ada udzur (alasan) bagiku untuk melakukannya, dan demi Allah aku tidak akan mengulangi lagi selama-lamanya, insya Allah’.”
“Sesungguhnya seorang mukmin adalah suatu kaum yang berpegang erat kepada Al Qur`an dan memaksa amalan-amalannya agar sesuai dengan Al Qur`an serta berpaling dari (hal-hal) yang dapat membinasakan diri mereka.”
“Sesungguhnya seorang mukmin di dunia ini bagaikan tawanan yang (selalu) berusaha untuk terlepas dari perbudakan. Dia tidak pernah merasa aman dari sesuatupun hingga dia menghadap Allah, karena dia mengetahui bahwa dirinya akan dimintai pertanggungjawaban atas semua itu.”
“Seorang hamba akan senantiasa dalam kebaikan selama dia memiliki penasehat dari dalam dirinya sendiri. Dan mengintrospeksi diri merupakan perkara yang paling diutamakan.”
(Mawa’izh Lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 39, 40, 41)
Cinta Dunia Merupakan Dosa Besar
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
“Tidaklah aku merasa heran terhadap sesuatu seperti keherananku atas orang yang tidak menganggap cinta dunia sebagai bagian dari dosa besar.
Demi Allah! Sungguh, mencintainya benar-benar termasuk dosa yang terbesar. Dan tidaklah dosa-dosa menjadi bercabang-cabang melainkan karena cinta dunia. Bukankah sebab disembahnya patung-patung serta dimaksiatinya Ar-Rahman tak lain karena cinta dunia dan lebih mengutamakannya? (Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 138)
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
“Telah sampai kepadaku bahwasanya akan datang satu masa kepada umat manusia di mana pada masa itu hati-hati manusia dipenuhi oleh kecintaan terhadap dunia, sehingga hati-hati tersebut tidak dapat dimasuki rasa takut terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan itu dapat engkau ketahui apabila engkau memenuhi sebuah kantong kulit dengan sesuatu hingga penuh, kemudian engkau bermaksud memasukkan barang lain ke dalamnya namun engkau tidak mendapati tempat untuknya.”
Beliau rahimahullahu berkata pula:
“Sungguh aku benar-benar dapat mengenali kecintaan seseorang terhadap dunia dari (cara) penghormatannya kepada ahli dunia.”
(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 120)
Kejelekan-kejelekan Harta
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
‘Isa bin Maryam ‘alaihissalam bersabda: “Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan, dan pada harta terdapat penyakit yang sangat banyak.”
Beliau ditanya: “Wahai ruh (ciptaan) Allah, apa penyakit-penyakitnya?”
Beliau menjawab: “Tidak ditunaikan haknya.”
Mereka menukas: “Jika haknya sudah ditunaikan?”
Beliau menjawab: “Tidak selamat dari membanggakannya dan menyombongkannya.”
Mereka menimpali: “Jika selamat dari bangga dan sombong?”
Beliau menjawab: “Memperindah dan mempermegahnya akan menyibukkan dari dzikrullah (mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala).”
(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 81)
Beliau rahimahullahu berkata:
“Kelebihan dunia adalah kekejian di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat.”
Beliau ditanya: “Apa yang dimaksud dengan kelebihan dunia?”
Beliau menjawab: “Yakni engkau memiliki kelebihan pakaian sedangkan saudaramu telanjang; dan engkau memiliki kelebihan sepatu sementara saudaramu tidak memiliki alas kaki.”
(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 76)
Sabar Saat Mendapat Musibah
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata:
“Kebaikan yang tiada kejelekan padanya adalah bersyukur ketika sehat wal afiat, serta bersabar ketika diuji dengan musibah. Betapa banyak manusia yang dianugerahi berbagai kenikmatan namun tiada mensyukurinya. Dan betapa banyak manusia yang ditimpa suatu musibah akan tetapi tidak bersabar atasnya.” (Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 158)
Beliau rahimahullahu juga berkata:
“Tidaklah seorang hamba menahan sesuatu yang lebih besar daripada menahan al-hilm (kesantunan) di kala marah dan menahan kesabaran ketika ditimpa musibah.” (Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 62)
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
“Tiga perkara yang merupakan bagian dari kesabaran; engkau tidak menceritakan musibah yang tengah menimpamu, tidak pula sakit yang engkau derita, serta tidak merekomendasikan dirimu sendiri.” (Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 81)
Beragam Tujuan dalam Menuntut Ilmu
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Janganlah kalian mempelajari ilmu karena tiga hal: (1) dalam rangka debat kusir dengan orang-orang bodoh, (2) untuk mendebat para ulama, atau (3) memalingkan wajah-wajah manusia ke arah kalian. Carilah apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ucapan dan perbuatan kalian. Karena, sesungguhnya itulah yang kekal abadi, sedangkan yang selain itu akan hilang dan pergi.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/45)
Ishaq ibnu Ath-Thiba’ rahimahullahu berkata: Aku mendengar Hammad bin Salamah rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mencari (ilmu, -pen.) hadits untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuat makar atasnya.”
Waki’ rahimahullahu berkata:
“Tidaklah kita hidup melainkan dalam suatu tutupan. Andaikata tutupan tersebut disingkap, niscaya akan memperlihatkan suatu perkara yang besar, yakni kejujuran niat.”
Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata:
“Menuntut ilmu yang merupakan perkara yang wajib dan sunnah yang sangat ditekankan, namun terkadang menjadi sesuatu yang tercela pada sebagian orang. Seperti halnya seseorang yang menimba ilmu agar dapat berjalan bersama (disetarakan, -pen.) dengan para ulama, atau supaya dapat mendebat kusir orang-orang yang bodoh, atau untuk memalingkan mata manusia ke arahnya, atau supaya diagungkan dan dikedepankan, atau dalam rangka meraih dunia, harta, kedudukan dan jabatan yang tinggi. Ini semua merupakan salah satu dari tiga golongan manusia yang api neraka dinyalakan (sebagai balasan, -pen.) bagi mereka.”
(An-Nubadz fi Adabi Thalabil ‘Ilmi, hal. 10-11, Penulis : Al-Ustadz Zainul Arifin
Larangan Berfatwa Tanpa Bimbingan Salafush Shalih
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:
“Siapa saja yang mengatakan sesuatu dengan hawa nafsunya, yang tidak ada seorang imampun yang mendahuluinya dalam permasalahan tersebut, baik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun para sahabat beliau, maka sungguh dia telah mengadakan perkara baru dalam Islam. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Barangsiapa yang mengada-ada atau membuat-buat perkara baru dalam Islam maka baginya laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala, para malaikat, dan manusia seluruhnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima infaq dan tebusan apapun darinya’.”
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata kepada sebagian muridnya:
“Hati-hati engkau, (jangan, -pen.) mengucapkan satu masalah pun (dalam agama pen.) yang engkau tidak memiliki imam (salaf, -pen.) dalam masalah tersebut.”
Beliau rahimahullahu juga berkata dalam riwayat Al-Maimuni:
“Barangsiapa mengatakan sesuatu yang tidak ada imam atasnya, aku khawatir dia akan salah.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata:
“Adapun para imam dan para ulama ahlul hadits, sungguh mereka semua mengikuti hadits yang shahih apa adanya bila hadits tersebut diamalkan oleh para sahabat, generasi sesudah mereka (tabi’in) atau sekelompok dari mereka. Adapun sesuatu yang disepakati oleh salafush shalih untuk ditinggalkan maka tidak boleh dikerjakan. Karena sesungguhnya tidaklah mereka meninggalkannya melainkan atas dasar ilmu bahwa perkara tersebut tidak (pantas, -pen.) dikerjakan.”
(An-Nubadz Fi Adabi Thalabil ‘Ilmi, hal. 113-115, Penulis : Al-Ustadz Zainul Arifin )
Sebab Hilangnya Agama
Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Jangan ada dari kalian taklid kepada siapapun dalam perkara agama sehingga bila ia beriman (kamu) ikut beriman dan bila ia kafir (kamu) ikut pula kafir. Jika kamu ingin berteladan, ambillah contoh orang-orang yang telah mati, sebab yang masih hidup tidak aman dari fitnah”.
Abdullah bin Ad-Dailamy berkata:
“Sebab pertama hilangnya agama ini adalah ditinggalkannya As Sunnah (ajaran Nabi). Agama ini akan hilang Sunah demi Sunnah sebagaimana lepasnya tali seutas demi seutas”.
Abdullah bin ‘Athiyah berkata:
“Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah dalam agama kecuali Allah akan mencabut dari mereka satu Sunnah yang semisalnya. Dan Sunnah itu tidak akan kembali kepada mereka sampai hari kiamat”.
Az-Zuhri berkata:
“Ulama kami yang terdahulu selalu mengingatkan bahwa berpegang teguh dengan As-Sunnah adalah keselamatan. Ilmu akan dicabut dengan segera. Tegaknya ilmu adalah kekokohan agama dan dunia sedangkan hilangnya ilmu maka hilang pula semuanya”.
Diambil dari kitab Lammudurul Mantsur Minal Qaulil Ma’tsur yang disusun oleh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsy.
Lakukanlah Hal-hal yang Bermanfaat
‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullahu berkata:
“Barangsiapa beranggapan perkataannya merupakan bagian dari perbuatannya (niscaya) menjadi sedikit perkataannya, kecuali dalam perkara yang bermanfaat baginya.”
‘Umar bin Qais Al-Mula’i rahimahullahu berkata:
“Sseorang melewati Luqman (Al-Hakim) di saat manusia berkerumun di sisinya. Orang tersebut berkata kepada Luqman: “Bukankah engkau dahulu budak bani Fulan?” Luqman menjawab: “Benar.”
Orang itu berkata lagi, “Engkau yang dulu menggembala (ternak) di sekitar gunung ini dan itu?” Luqman menjawab: “Benar.”
Orang itu bertanya lagi: “Lalu apa yang menyebabkanmu meraih kedudukan sebagaimana yang aku lihat ini?” Luqman menjawab: “Selalu jujur dalam berucap dan banyak berdiam dari perkara-perkara yang tiada berfaedah bagi diriku.”
Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu bahwasanya beliau berkata:
“Termasuk tanda-tanda berpalingnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dari seorang hamba adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kesibukannya dalam perkara-perkara yang tidak berguna bagi dirinya.”
Sahl At-Tustari rahimahullahu berkata:
“Barangsiapa (suka) berbicara mengenai permasalahan yang tidak ada manfaatnya niscaya diharamkan baginya kejujuran.”
Ma’ruf rahimahullahu berkata: “Pembicaraan seorang hamba tentang masalah-masalah yang tidak ada faedahnya merupakan kehinaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala (untuknya).”
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/290-294)
Orang Yang Tidak Boleh Diambil Ilmunya
Abdurrahman bin Mahdi rahimahullahu berkata:
“Ada tiga (golongan) yang tidak boleh diambil ilmunya, (yakni): (1) Seseorang yang tertuduh dengan kedustaan, (2) Ahlul bid’ah yang mengajak (manusia) kepada kebid’ahannya, dan (3) seseorang yang dirinya didominasi oleh keraguan serta kesalahan-kesalahan.”
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata:
“Tidak boleh seseorang mengambil ilmu dari empat (jenis manusia) dan boleh mengambilnya dari selain mereka (yaitu): (1) Ilmu tidak diambil dari orang-orang bodoh, (2) Tidak diambil dari pengekor hawa nafsu yang menyeru manusia kepada hawa nafsunya, (3) Tidak pula dari seorang pendusta yang biasa berdusta dalam pembicaraan-pembicaraan manusia meskipun tidak tertuduh berdusta pada hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (4) Tidak pula dari seorang syaikh yang memiliki keutamaan, keshalihan serta ahli ibadah tetapi dia tidak lagi mengetahui apa yang tengah dibicarakannya.” (n-Nubadz fi ‘Adab Thalabil ‘Ilmi, hal. 22-23)
Musibah
Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
“Menangislah kalian atas orang-orang yang ditimpa bencana. Jika dosa-dosa kalian lebih besar dari dosa-dosa mereka (yang ditimpa musibah, red), maka ada kemungkinan kalian bakal dihukum atas dosa-dosa yang telah kalian perbuat, sebagaimana mereka telah mendapat hukumannya, atau bahkan lebih dahsyat dari itu.”(Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal. 73)
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar menjanjikan adanya ujian bagi hamba-Nya yang beriman, sebagaimana seseorang berwasiat akan kebaikan pada keluarganya.”(Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal. 111)
“Tidak ada musibah yang lebih besar dari musibah yang menimpa kita, (di mana) salah seorang dari kita membaca Al-Qur’an malam dan siang akan tetapi tidak mengamalkannya, sedangkan semua itu adalah risalah-risalah dari Rabb kita untuk kita.” (Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal. 32)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Seorang mukmin itu berbeda dengan orang kafir dengan sebab dia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, membenarkan apa saja yang dikabarkan oleh para Rasul tersebut, menaati segala yang mereka perintahkan dan mengikuti apa saja yang diridhai dan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bukannya (pasrah) terhadap ketentuan dan takdir-Nya yang berupa kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan-kemaksiatan. Akan tetapi (hendaknya) dia ridha terhadap musibah yang menimpanya bukan terhadap perbuatan-perbuatan tercela yang telah dilakukannya. Maka terhadap dosa-dosanya, dia beristighfar (minta ampun) dan dengan musibah-musibah yang menimpanya dia bersabar.”
(Makarimul Akhlaq, Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyyah, hal. 281

Kunci-Kunci Kebaikan

Kunci-Kunci Kebaikan
Oleh: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Allooh telah menjadikan kunci sebagai pembuka bagi setiap perkara yang dituntut. Dia menjadikan kunci sholat adalah bersuci, sebagaimana sabda Nabi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
” Kunci sholat adalah bersuci.”
Dan kunci haji adalah ihram. Kunci kebajikan adalah kejujuran. Kunci surga adalah tauhid. Kunci ilmu adalah sikap yang baik dalam bertanya dan mendengar. Kunci pertolongan dan kemenangan adalah kesabaran. Kunci bertambahnya nikmat adalah syukur. Kunci kewalian adalah kecintaan dan dzikir. Kunci keberuntungan adalah taqwa. Kunci taufiq adalah raghbah ( rasa harap yang disertai dengan amalan ) dan rahbah ( rasa takut yang disertai dengan amalan ).
Kunci ijabah ( sambutan Allooh ) adalah do’a. Kunci cinta akhirat adalah zuhud terhadap dunia. Kunci iman adalah memikirkan perkara yang Allooh serukan untuk difikirkan oleh hamba-hambaNya. Kunci untuk menjumpai Allooh adalah ketundukan hati dan keselamatan hati untuk-Nya, ikhlas kepadaNya dalam cinta, benci, berbuat dan meninggalkan sesuatu. Kunci hidupnya hati adalah tadabbur ( memperhatikan dan merenungi ) Al-Qur’an, merendahkan diri waktu sahar ( waktu malam sebelum fajar ) dan meninggalkan dosa.

Kunci mendapatkan rahmat adalah berbuat ihsan dalam beribadah kepada al-Khaliq dan berusahan menberi manfaat kapada hamba-hambaNya. Kunci rezeki adalah usaha yang disertai dengan istiqhfar dan taqwa. Kunci kemuliaan adalah ketaat kepada Allooh dan Rasul-Nya. Kunci mempersiapkan diri untuk akhirat adalah memperpendek angan-angan. Dan kunci segala kebaikan adalah kecintaan kepada Allooh dan negeri akhirat. Sedangkan kunci segala keburukan adalah cinta dunia dan panjang angan-angan.
Ini adalah permasalahan agung yang merupakan permasalahan ilmu paling bermanfaat. Yaitu mengetahui kunci –kunci kebaikan dan keburukan. Apa yang beliau sebutkan di atas, tidaklah mencakup seluru kunci-kunci kebaikan. Meski demikian, perkataan itu cukup untuk memberikan gambaran kepada kita bahwa setiap kebaikan pasti ada kunci-kuncinya. Dan beliau juga menyebutkan perkara-perkara agung yang sangat dibutuhkan seorang muslim yang beriman.
• Kunci-kunci kabaikan yang disebutkan para ulama yang lain. Di antaranya:
a. Aun bin Abdillah Rahimahullah berkata,” perhatian seorang hamba terhadap dosanya akan mendorongnya untuk meninggalkan dosa itu. Dan menyesalannya atas dosa itu adalah kunci untuk bertaubat. Seorang hamba senantiasa memperhatikan dosa yang dilakukannya sehingga hal itu menjadi lebih bermanfaat baginya dari pada sebaian kebaikan-kabaikannya.
b. Sufyan bin Uyainah Rahimahullah berkata,” Tafaqqur adalah kunci rahmat. Tidakkah kamu lihat seseorang berfikir lalu bertaubat.
c. Al-Hasan Rahimahullah berkata,” Kunci lautan adalah perahu-perahu. Kunci bumi adalah jalan-jalan. Sedangkan kunci langit adalah doa’.
d. Sahl bin Abdillah Rahimahullah berkata,” Tinggalkan hawa nafsu adalah kunci surga, berdasarka firman Allooh Ta’ala:” Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Robb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” ( Qs.An-Naziat: 40-41 ).
e. Sufyan berkata” Dahulu dikatakan, diam yang lama adalah kunci ibadah.
f. Syaikhul islam berkata “ Maka kejujuran adalah kunci segala kabaikan, sebagiman dusta adalah kunci segala keburukan. Baliau juga berkata “ Doa’ adalah kunci kebaikan.”

Godaan Setan Pada Orang-Orang Sholeh

Godaan Setan Pada Orang-Orang
Sholeh
Oleh: DR.Abdullah Al-Khaathir

Uslub ( Metodologi ) Setan Dalam Menggoda Manusia

Setan menggunakan uslub yang bertahap dalam menyesatkan manusia, baik dalam materi ajakannya maupun dalam caranya.
Imam Ibnu Qayyim Rahimahullaah menyebutkan 6 tahapan dalam materi ajakan setan sebagai berikut :

1. Setan berusaha agar manusia menjadi kafir atau musyrik. Jika orang tersebut adalah islam, usahanya diturunkan ketahapan berikutnya.
2. Yaitu tahapan bid’ah ( mengada-ada suatu urusan dien ). Manusia dibuatnya untuk membuat dan menerapkan bid’ah. Jika orang tersebut termasuk Ahlusunnah, dimulailah tahapan ketiga.
3. Yaitu tahapan kabaair, maksiat berupa dosa-dosa besar. Jika orang tersebut dijaga Allooh Ta’ala dari melakukan dosa besar, setan tidak putus asa untuk terus menggoda.
4. Yaitu tahapan shaghaair, maksiat berupa dosa-dosa kacil. Jika orang tersebut terjaga juga dariNya, mulailah setan menyibukkan orang itu dengan uslub lain.
5. Yaitu setan minyibukkan manusia dengan hal-hal yang mubah, sehingga orang itu menghabiskan waktunya dalam hal mubah, tidak sibuk dalam hal yang berpahala, yang kita semua diperintahkan mengamalkannya.
6. Yaitu setan menyibukkan manusia dengan amal-amal yang mafdhul ( kurang utama ) sehingga lalai dari amal yang afdhal ( lebih utama ), yang lebih baik dari amal mafdhul tersebut. Misalnya seseorang disibukkan dengan perkara sunnah dari pada fardhu, maka sibuklah dia dengan yang disunnahkan dan meninggalkan yang difardhukan

Setan sangat bersungguh-sungguh dalam dakwahnya, dengan mengajak secara bertahap dalam materi ajakannya. Adapun dalam cara mengajaknya, maka setan itu majerumuskan manusia selangkah demi selangkah. Sebagaimana Allooh Ta’ala berfirman:” Makanlah dari apa yang dirizqikan Allooh kepada kalian, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” ( Q.s. Al-An’aam: 142 ).
Pada mulanya setan berusahan menggelincirkan manusia sedikit-demi sedikit, kemudia bertahap menuju tujuannya. Setan masuk pada siapapun dengan uslub yang cocok dengan jati dirinya.
• Setan masuk pada orang zihad ( sederhana ) dengan kezuhudannya.
• Masuk pada orang alim ( berilmu ) dengan melalui pintu ilmu
• Masuk pada orang jahil ( bodoh ) dengan kebodohannya pula.


Pintu-pintu Godaan Setan

Sesungguhnya tempat-tempat setan bisa masuk melancarkan godaannya sangatlah banyak, sulit untuk membatasinya. Kami akan menyebutkan sebagiannya saja, antara lain :

1. Mengadu domba sesama kaum muslimin dan menyebarkan buruk sangka ( suuzhzhaan ) satu sama lain.
Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim:” Sesungguhnya iblis telah putus asa untuk disembah oleh orang-orang sholeh, tetapi dia terus mengusahakan adu domba sesama mereka.”
Adapun buruk sangka, maka menjadi kebiasaan setan untuk membisikannya pada manusia. Suu-uzhzhan termasuk pintu masuk setan dengan membuat seseorang setiap kali mendengar perkataan lalu ia tafsirkan dengan penafsiran negatif.
2. Menghiasi bid’ah bagi manusia
Setan mendatangi manusia dengan mengatakan bahwa bid’ah itu sesuatu yang indah seraya mengatakan :” sesungguhnya manusia dizaman ini sudah meninggalkan ibadah dan sulit dikembalikannya. Mengapa kita tidak mengerjakan sebagian peribadahan lalu kita bagus-baguskan dengan tambahan dari kita agar manusia mau kembali beribdah.?: kadang-kadang setan mendatangi dengan cara penambahan terhadap ibadah yang ada dalam sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Lalu berkata, “ tambahan kabaikan tentu merupan kebaikan juga. Maka tambalah dalam sunnah tersebut suatu bentuk ibadah yang mirip dengan sunnah, atau sandarkan ibadah baru pada sunnah tersebut.”
Sebagian manusia lain didatangi dengan bujukan,” sesungguhnya manusia sudah jau dien ini, mengapa tidak kita buat hadits-hadits yang dapat menakut-nakuti mereka.?” Maka orang-orang mengarang hadits-hadits palsu yang di sandarkan pada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Sambil berdali,” kami memang berdusta, namun kami bukan berdusta dalam rangka membela baliau.?!”
Mereka berdusta membela Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.??!! Dikaranglah oleh mereka hadits untuk menakut-nakuti manusia dari naar, meberikan gambarannya pada manusia dengan cara-cara aneh. Demikian pula mereka menggambarkan jannah dengan cara aneh yang lain pula.!
Kita mengetahui bahwa ibadah itu tauqifiyyah, yaitu mengambilnya dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana petunjuk Allooh yang datang pada Beliau, tidak boleh kita tambahi atau kurangi atau kita ubah-ubah sekendak kita. Kelakuan seperti yang mereka lakukan itu hanyalah bid’ah dari karangan syaitan.!!
3. Membesar-besarkan satu aspek atas lainnya.
• Pada tataran individu
• Kadang seseorang terjatuh pada banyak dosa-dosa dan maksiat, namun dia tetap sholat sebagai alasan penutup kekurangannya itu. Dia berdalih bahwa sholat adalah ‘imaadud-dien (tiang agama ), yang pertama kali dihisab di hari perhitungan, Dia menjadikan sholat sebagai sesuatu yang paling agung, dibesar-besarkannya urusan sholat hanya untuk menghalalkan kekurangannya dalam ibadah-ibadahlain. Benar bahwa sholat adalah ‘imaadud-dien, namun bukan keseluruhan kandungan dien ini.! Setanlah yang mendatangi orang ini untuk menghalalkan kekurangan dirinya.
• Kdang setan pun mendatangi seorang manusia lain untuk mengatkan,” Dien ini adalah muamalah ( pergaulan/akhlak yang baik ).....yang paling penting kamu baik terhadap manusia, jangan mendustai atau menipu mereka,walaupun kamu tidak sholat.
• Kadang didatangi seseorang dengan bujukan,” yang paling penting adalah berniat baik.! Asal aku lalui waktu malamku tanpa menyipan dengki dan kebencian pada manusia, cukuplah sudah.” Akhirnya orang tersebut meninggalkan banyak amal-amal sholeh, mencupkan diri dengan niat baik saja.!
• Pada Tataran Jama’iy ( Komunal )
Tampak jelas masalah ini dalam tataran kelompok ketika kamu lihat segolongan orang berkata:
• Hal terpenting adalah kita harus mengenal keadaan riil kaum muslimin, dan musuh-musuh mereka. Dengan demikian hal paling penting adalah masala-masala politis. Kemudia jika kamu tanya tentang islam, mereka tidak faham sedikitpun. Dan masih banyak contohnya.
4. Menundah-nundah dan Tergesa-gesa
Tergesa-gesa dan menundah-nundah adalah permasuk pintu masuk
setan. Demikian pula berpanjang angan-angan. Sebagian manusia menyebutnya” hambatan terbesar “ apa maksudnya.? Sebagian orang meletakkan satu perkara yang dianggap harus diprioritaskan sebagai hambatannya, lalu misalnya berkata,” Kalau aku selesai sekolah, baru...... insya Allooh.........aku akan bertaubat.
5. Kesempurnaan semu
Setan mendatangi manusia untuk menjadikannya merasa sempurna.
6. Tidak menilai diri dan kemampuannya secara tepat
Setan membuat seseorang tergelincir dalam menilai dirinya dengan dua jalan:
• Pandangan ujub dan menipu diri : yaitu setan mendorong manusia melihat dirinya secara ujub ( memuji diri ), sehingga dia terkena ghurur ( menipu diri ) dan takabur.
• Tawadhu dan memandang dirinya hina dan rendah
7. Tasykik ( menimbulkan keragu-raguan )
8. Takhwif ( menakut-nakuti )
Setan mempunyai dua metoda dalam menekut-nakuti manusia :
• Menakut-nakuti dari wali-wali setan
• Menakut-nakuti dari kefaqiran.
Hal-hal Yang Melancarkan Tugas Setan
1- Kebodohan
2- Hawa nafsu, Lemah Keikhlasan, dan Lemah Keyakinan
3- Kelalaian dan Tiadanya Kewaspadaan Terhadap Pintu-pintu Masuk Setan
OBATNYA
1- Iman Kepada Allooh
2- Mencari Ilmu Syar’i dari Sumber-sumber Yang Shahih
3- Ikhlas Dalam Dien ini
4- Dzikir Kepada Allooh Ta’ala dan Berlindung dari Godaan Setan Terkutuk.

(AQIDAH & MANHAJ IMAM AHMAD BIN HAMBAL) Kitab ini berisi penjelasan tentang Pokok-Pokok Sunnah serta Aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah yang dipegang

(AQIDAH & MANHAJ IMAM AHMAD BIN HAMBAL)
Kitab ini berisi penjelasan tentang Pokok-Pokok Sunnah serta Aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah yang dipegang teguh oleh Kaum Muslimin, Kitab ini juga mengajarkan dasar-dasar Agama yang menjadi pedoman bagi kaum Muslimin dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Dan Diantara Pokok-Pokok Sunnah Adalah :
1. Berpegang teguh pada jalan hidup para sahabat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
2. Berqudwah (mengambil teladan ) pada mereka.
3. Meninggalkan Bid’ah-Bid’ah.
4. Setiap Bid’ah adalah kesesatan.
5. Meninggalkan permusuhan dan brduduk-duduk dngan ahlil ahwa’ (pengekor hawa nafsu).
6. Meninggalkan perdebatan dan adu argumentasi serta pertikaian dalam urusan Agama.
7. As-Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
8. As-Sunnah adalah penjelasan Al-Qur’an yakni petunjuk-petunjuk dalam Al-Qur’an.
9. Di dalam As-Sunnah tidak ada Qiyas.
10. As-Sunnah tidak boleh dibuat permisalan dan tidak dapat diukur denan akal dan hawa nafsu, akan tetapi dengan Ittiba’ dan meninggalkan hawa nafsu.
11. Dan termasuk dari Sunnah yang tidak boleh ditinggalkan dan bila ditinggalkan satu perkara saja darinya maka ia tidak menerima dan tidak beriman dengannya (Sunnah) dan tidak termasuk dari ahlinya.
12. Beriman terhadap taqdir baik dan buruknya dan mmbenarkan hadits-hadits tentangnya dan mengimaninya, dan tidak boleh mengatakan : “Kenapa dan Bagaimana”, karna hal itu tiada lain hanyalah membenarkan dan mengimaninya. barangsiapa yang tidak mengerti penjelasan hadits (tentang taqdir) dan akalnya tidak sampai, maka hal itu telah cukup dan kokoh baginya. maka wajib baginya mengimaninya dan berserah diri. seperti hadits (as-Shaadiqul mashduua), dan hadits semisalnya tentang taqdir, juga semua hadits-hadits tentang melihat Allah, meskipun jarang terdengar dan banyak yang tidak suka mendengarnya, maka wajib mengimaninya dan tidak boleh menolak darinya satu hurufpun, dan hadits-hadits selainnya yang ma’tsur dari orang-orang yang tsiqah (terpercaya). tidak boleh mendebat seseorang tentangnya an mempelajari ilmu berdebat, karena berdebat tntang : “Taqdir, Ru’yah, Al-Qur’an dan yang selainnya dari (perinsip-perinsip) As-Sunnah adalah makruh dan terlarang. dan tidak termasuk Ahli Sunnah” meskipun perkataannya sesuai dengan As-Sunnah hingga ia meninggalkan perdebatan dan berserah diri serta beriman terhadap atsar-atsar.
13. Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk, dan tidak boleh melemah untuk mengatakan Al-Qur’an bukanlah makhluk, karena sesungguhnya kalam Allah itu tidak terpisah dari-Nya dan tiada satu bagianpun dari-Nya yang makhluk, dan hindarilah berdebat dengan orang yang membuat perkara baru tentangnya. orang yang mengatakan lafadzku dengan Al-Qur’An adalah makhluk dan selainnya serta orang yang tawaqqkuf tentangnya, yang mengatakan “aku tidak tahu makhluk atau bukan makhluk akan tetapi dia adalah kalam Allah” karena orang ini adalah ahli bid’ah seperti orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk. sesungguhnya Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk.
14. Beriman terhadap Ru’yah (melihat Allah) pada hari kiamat sebagaimana hadits-hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
15. Dan Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah melihat Rabbnya. telah ada atsar yang shahih dari Rasulullah yang diriwayatkan dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dan diriwayatkan oleh Al-Hakkam bin Abban dan Ikrimah dari Ibnu Abbas, serta diriwayatkan oleh Ali bin Zaid dari Yusuf bin Mihran dari Ibnu Abbas. dan hadits tersebut menurut kami hendaknya ifahami sesuai dengan makna zhahirnya, sebagaimana hal itu datang dari Nabi. sebab memperdebatkan tentangnya adalah bid’ah. akan tetapi kami mengimaninya sesuai dengan makna zhahirnya sebagaimana hal tersebut datang (kepada kami) dan kami tidak memperdebatkan tentangnya dengan siapapun.
16. Beriman kepada Al-Mizan (timbangan) pada hari kiamat, sebagaimana (yang di jelaskan) dalam hadits : “Seorang hamba akan ditimbang pada hari kiamat, maka ia tidak bisa mengimbangi berat sayap seekor nyamuk” . dan juga amalan-amalan para hamba akan ditimbang sebagaimana (yang dijelaskan) dalam Atsar, mengimani membenarkannya, dan berpaling dari orang yang menolaknya serta meninggalkan perdebatan dengannya.
17. Allah akan mengajak bicara hamba-hamba-Nya pada hari kiamat tanpa ada penerjemah antara mereka dengan-Nya dan kita wajib mengimani dan membenarkannya.
18. Beriman dengan Telaga, dan bahwa Rasulullah memiliki telaga pada hari kiamat yang akan didatangi oleh umatnya, dimana luasnya sepanjang perjalanan sebulan dan bejana-bejananya sebanyak bintang-bintang dilangit. menurut riwayat-riwayat yang shahih dari beberapa jalan.
19. Beriman kepada Adzab kubur.
20. Dan bahwa ummat ini akan diuji dan ditanya didalam kuburnya tentang Iman, Islam dan siapa Rabbnya, siapa Nabinya, dan akan didatangi oleh malaikat Munkar dan Nakir sesuai dengan kehendak dan keinginan Allah. dan kita mengimani dan membenarkannya.
21. Beriman terhadap syafa’at Nabi dan suatu kaum yang yang dikeluarkan dari api neraka setelah terbakar dan menjadi arang, kemudian mereka diperintahkan menuju sungai didepan Surga sesuai dengan kehendak Allah, sebagaimana (yang dijelaskan) dalam Atsar. dan kita mengimani dan membenarkannya.
22. Beriman bahwa Al-Masih ad-Dajjal akan keluar, tertulis diantara kedua matanya “Kaafir” dan kita beriman terhadap hadits-hadits tentangnya dan bahwa hal itu pasti akan terjadi.
23. Dan bahwa Isa bin Maryam ‘Alaihissalam akan turun lalu membunuhnya di pintu Lud.
24. Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang, sebagaimana (yang dijelaskan) dalam hadits : “Orang yang paling sempurna Imannya adalah orang yang paling baik Akhlaknya”.
25. Barangsiapa yang meninggalkan Shalat maka ia telah kafir. dan tidak ada satu amalan apapun yang apabila ditinggalkan maka akan menyebabkan kekafiran melainkan shalat. maka barangsiapa yang meninggalkan maka ia telah kafir dan Allah telah menghalalkannya untuk dibunuh.
26. Sebaik-baiknya orang dari Ummat ini setelah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian Umar bin Khaththab. kemudian Utsman bin Affan, Kami mendahulukan mereka bertiga sebagaimana Para Sahabat Rasulullah mendahulukan mereka, mereka tidak berselisih pendapat tentang hal ini. kemudian setelah mereka adalah lima orang Ashaabu Asyuura’ (yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Abi Waqqash) mereka semua patut untuk menjadi khalifah, dan semuanya adalah Imam (pemimpin), kami berpendapat demikian berdasarkan hadits Ibnu Umar : “Kami menyebut secara berurutan tatkala Rasulullah masih hidup dan para sahabat masih berkumpul, yaitu : Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian kami diam … Kmudian setelah Ashaabu Asyuura’ adalah ahli badar dari kaum muhajirin, kemudian ahli badar dari kaum Anshar dari para Sahabat Rasulullah sesuai dengan kadar hijrah dan keterdahuluannya (masuk Islam).
27. Kemudian sebaik-baik manusia setelah para Sahabat adalah generasi yang Rasulullah diutus padanya. setiap orang yang bersahabat dengannya baik setahun, sebulan, sehari, sesaat atau pernah melihatnya, maka ia trmasuk dari para sahabatnya, ia memiliki keutamaan bersahabat sesuai dengan waktu persahabatannya. karena keterdahuluannya bersama beliau, telah mendengar darinya, dan melihat kepadanya. maka serendah-rendah derajat mereka masih lebih utama dibanding dengan generasi yang tidak pernah melihatnya walaupun ia berjumpa Allah dengan membawa seluruh amal (kebaikan). mereka orang-orang yang pernah ersahabat dngan Nabi, melihat dan mendengar adarinya, serta orang yang melihat dngan mata kepalanya dan beriman kepadanya walaupun sesaat masih lebih utama, dikarenakan persahabatannya dengan beliau dari pada para tabi’in walaupun mereka mengamalkan segala amal kebaikan.
28. Mendengar dan taan kepada para Imam dan pemimpin kaum Mu’minin yang baik maupun yang buruk, dan kepada khalifah yang manusia brsatu padanya dan meridhainya. dan juga kpada orang yang telah mengalahkan manusia dengan pedang (kekuatan) hingga ia menjadi khalifah dan di sebut sebagai Amirul Mukminin.
29. Perang dilakukan bersama para pemimpin yang baik maupun yang buruk, terus berlangsung sampai hari kiamat, dan tidak boleh ditinggalkan.
30. Pembagian Fa’i (harta rampasan perang dari kaum kafir tanpa terjadi peprangan) dan menegakkan hukuman-hukuman harus diserahkan kepada para Imam. tidak boleh bagi siapapun untuk mencla dan menyelisihinya.
31. Membayar Zakat/Sedekah kepada mereka (para Imam) boleh dan terlaksana. barangsiapa membayarkannya kepada mereka maka hal itu telah cukup/sah baginya, baik pemimpin itu baik maupun buruk.
32. Melaksanakan Shalat jum’at dibelakang mereka dan dibelakang orang yang menjadikan mereka sebagai pemimpin hukumnya boleh dan sempurna dua rakaat. barangsiapa yang mengulangi shalatnya maka ia adalah seorang mubtadi’ yang meninggalkan atsar-atsar dan menyelisihi Sunnah, dan tidak ada baginya sedikitpun keutamaan shalat jum’at, apabila ia tidak berpendapat bolehnya shalat dibelakang para Imam, baik pemimpin itu baik maupun buruk karena Sunnah memerintahkan agar melaksanakan shalat bersama mereka dua rakaat dan mengakui bahwa shalat itu sempurna. tanpa ada keraguan terhadap hal itu didalam hatimu.
33. Barangsiapa yang keluar (dari ketaatan) terhadap seorang pemimpin dari para pemimpin kaum Muslimin, padahal manusia telah bersatu dan mengakui kehalifahan baginya dengan cara apapun. baik dengan ridha atau dengan kemenangan (Dalam Perang), maka sungguh orang tersebut telah memecah belah persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar-atsar dari Rasulullah, dan apabila ia mati dalam keadaan demikian maka matinya seperti mati jahiliyah .
34. Tidak halal memerangi khalifah dan keluar dari ketaatan kepadanya dikarenakan seseorang, barangsiapa yang melakukan hal itu maka ia adalah seorang mubtadi’ yang bukan diatas Sunnah dan jalan( yang lurus).
35. Memerangi para pencuri dan orang-orang khawarij (yang keluar dari ketaatan kepada khalifah) maka hal ini boleh, apabila mereka telah merampas jiwa dan harta seseorang, maka bagi orang tersebut boleh memerangi mereka untuk mempertahankan jiwa dan hartanya dengan segala kemampuan. Akan tetapi ia tidak boleh mengejar dan mengikuti jejak mereka apabila mereka telah pergi dan meninggalkannya. Tidak boleh bagi siapapun kecuali Imam atau para para pemimpin Muslimin, karena hanya diperbolehkan untuk mempertahankan harta dan jiwa ditempat tinggalnya, dan berniat dengan upayanya untuk tidak membunuh seseorang. Jika ia (pencuri/khawarij) mati ditangannya dalam peperangan mempertahankan dirinya, maka Allah akan menjauhkan orang yang terbunuh (dari Rahmat-Nya). dan jika ia (yang dirampok) terbunuh dalam keadaan demikian sedang ia mempertahankan jiwa dan hartanya, maka aku berharap ia mati syahid sebagaimana (yang dijelaskan) dalam hadits-hadits. Dan seluruh atsar dalam masalah ini memerintahkan agar memeranginya dan tidak memerintahkan untuk membunuh dan mengejarnya. Dan tidak boleh membunuhnya jika ia menyerah atau terluka. Dan jika ia menawannya maka tidak boleh membunuhnya dan tidak boleh melaksanakan hukuman kepadanya akan tetapi urusannya diserahkan kepada orang yang telah dijadikan oleh Allah sebagai pemimpin, lalu (kemudian) iapun menghukuminya.
36. Kami tidak bersaksi dengan (masuk) surga atau neraka bagi siapapun dari ahli kiblat (kaum muslimin) disebabkan dari suatu amalan yang diperbuatnya. kami berharap (kebaikan) bagi orang shalih dan mengkhawatirkan (kejelekan) baginya. Kami (juga) mengkhawatirkan (kejelekan) akan menimpa orang yang buruk lagi berdosa, dan mengharapkan Rahmat Allah baginya.
37. Barangsiapa berjumpa Allah dengan membawa dosa yang menyebabkannya masuk kedalam neraka – sedang ia dalam keadaan bertaubat dan tidak berlarut-larut didalam dosa – maka sesungguhnya Allah akan mengampuninya dan menerima taubat dari hamba-hambanya serta memaafkan kesalahan-kesalahannya.
38. Barangsiapa berjumpa Allah sedangkan telah dilaksanakan hukuman dosa tersebut padanya didunia, maka ia adalah kafarahnya (penghapus dosanya). Sebagaimana (yang dijelaskan) dalam hadits Rasulullah.
39. Barangsiapa berjumpa Allah dalam kaadaan terus-menerus berbuat dosa tanpa bertobat darinya, yang mana dosa-dosa tersebut mengharuskannya disiksa, maka urusannya terserah kepada Allah. Jika Dia berkehendak, Dia akan menyiksanya dan jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya.
40. Barangsiapa berjumpa Allah dari orang kafir, niscaya Dia menyiksanya dan tidak mengampuninya.
41. (Hukuman) Rajam adalah hak bagi siapa saja yang berzina sedangkan ia telah terpelihara (menikah), bilamana ia mengaku atau terbukti atasnya.
42. Rasulullah telah (meleksanakan hukuman0 Rajam.
43. Demikian juga para Imam (pemimpin) yang lurus telah melaksanakan hukuman Rajam.
44. Barangsiapa yang mencela salah seorang Sahabat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam atau membencinya karena suatu kesalahan darinya, atau menyebutkan kejelekan-kejelekannya, maka dia adalah seorang ahli bid’ah, sehingga dia menyayangi mereka semua dan hatinya bersih dari (sikap membenci atau mencela) mereka.
45. Dan Nifak adalah kekafiran yakni kafir kepada Allah dan beribadah kepada selain-Nya, menampakkan keislaman dihadapan orang umum, seperti orang-orang munafik yang hidup dizaman Rasulullah.
46. Dan sabda Nabi : Artinya … “Tiga perkara yang barangsiapa ada pada dirinya maka ia adalah orang munafiq” dalam hadits ini sebagai ancaman yang berat, dan kami meriwayatkannya seperti apa adanya, dan kami juga tidak menafsirkannya (dengan makna lain).
47. Dan sabdanya : Artinya … “Janganlah kamu kembali menjadi orang-orang kafir yang sangat sesat sepeninggalku, sebagian kamu membunuh sebagian yang lain”. dan seperti halnya hadits Nabi : Artibya … “Apabila dua orang muslim saling berhadapan dengan mengangkat pedang, maka si pembunuh dan yang terbunuh keduanya akan masuk neraka”. dan juga seperti hadits Nabi : Artinya … ” Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran”. dan seperti juga disebutkan dalam sabda Nabi : Artinya … “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya ‘wahai kafir … maka perkataan tersebut akan kembali kepada salah satu dari keduanya”. dan juga seperti sabdanya : Artinya … “Merupakan kekafiran kepada Allah adalah berlepas diri dari nasab walaupun sekecil apapun”.
48. Dan yang semisal hadits-hadits tersebut dari apa yang benar dan terjaga. kami pasrah kepadanya walaupun tidak mengetahui tafsirnya, dan kami tidak membicarakannya dan juga tidak memperdebatkannya, dan kami (juga) tidak menafsirkan hadits-hadits ini, kecuali sebagaimana ia datang (seperti apa adanya), kami tidak menolaknya kecuali dengan apa yang lebih benar darinya.
49. Surga dan neraka adalah dua makhluk yang telah diciptakan sebagaimana sabda Rasulullah yang Artinya : … “Aku telah memasuki surga, maka melihat sebuah istana”. “dan aku telah melihat al-kautsar”. “dan aku telah melihat surga, lalu aku melihat … begini dan begitu”. maka barangsiapa yang menyangka bahwa keduanya (surga dan neraka) belum diciptakan, berarti dia telah mendustakan Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah. dan aku (Imam Ahmad bin Hambal) menyangka bahwa ia tidak beriman dengan (adanya) surga dan neraka.
50. Barangsiapa meninggal dunia dari ahli kiblat dalam keadaan bertauhid, maka ia (berhak) dishalatkan dan dimintakan ampunan baginya. Dan Istighfar (permintaan ampunan kepada Allah) tidak boleh dihalangi darinya. dan menshalati jenazahnya tidak boleh ditinggalkan disebabkan suatu dosa yang dilakukannya, baik dosa kecil maupun besar dan urusannya terserah kepada Allah.



Kitab ini berisi penjelasan tentang Pokok-Pokok Sunnah serta Aqidah Ahlusunnah Wal Jama’ah yang dipegang teguh oleh Kaum Muslimin, Kitab ini juga mengajarkan dasar-dasar Agama yang menjadi pedoman bagi kaum Muslimin dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Dan Diantara Pokok-Pokok Sunnah Adalah :
1. Berpegang teguh pada jalan hidup para sahabat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
2. Berqudwah (mengambil teladan ) pada mereka.
3. Meninggalkan Bid’ah-Bid’ah.
4. Setiap Bid’ah adalah kesesatan.
5. Meninggalkan permusuhan dan brduduk-duduk dngan ahlil ahwa’ (pengekor hawa nafsu).
6. Meninggalkan perdebatan dan adu argumentasi serta pertikaian dalam urusan Agama.
7. As-Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
8. As-Sunnah adalah penjelasan Al-Qur’an yakni petunjuk-petunjuk dalam Al-Qur’an.
9. Di dalam As-Sunnah tidak ada Qiyas.
10. As-Sunnah tidak boleh dibuat permisalan dan tidak dapat diukur denan akal dan hawa nafsu, akan tetapi dengan Ittiba’ dan meninggalkan hawa nafsu.
11. Dan termasuk dari Sunnah yang tidak boleh ditinggalkan dan bila ditinggalkan satu perkara saja darinya maka ia tidak menerima dan tidak beriman dengannya (Sunnah) dan tidak termasuk dari ahlinya.
12. Beriman terhadap taqdir baik dan buruknya dan mmbenarkan hadits-hadits tentangnya dan mengimaninya, dan tidak boleh mengatakan : “Kenapa dan Bagaimana”, karna hal itu tiada lain hanyalah membenarkan dan mengimaninya. barangsiapa yang tidak mengerti penjelasan hadits (tentang taqdir) dan akalnya tidak sampai, maka hal itu telah cukup dan kokoh baginya. maka wajib baginya mengimaninya dan berserah diri. seperti hadits (as-Shaadiqul mashduua), dan hadits semisalnya tentang taqdir, juga semua hadits-hadits tentang melihat Allah, meskipun jarang terdengar dan banyak yang tidak suka mendengarnya, maka wajib mengimaninya dan tidak boleh menolak darinya satu hurufpun, dan hadits-hadits selainnya yang ma’tsur dari orang-orang yang tsiqah (terpercaya). tidak boleh mendebat seseorang tentangnya an mempelajari ilmu berdebat, karena berdebat tntang : “Taqdir, Ru’yah, Al-Qur’an dan yang selainnya dari (perinsip-perinsip) As-Sunnah adalah makruh dan terlarang. dan tidak termasuk Ahli Sunnah” meskipun perkataannya sesuai dengan As-Sunnah hingga ia meninggalkan perdebatan dan berserah diri serta beriman terhadap atsar-atsar.
13. Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk, dan tidak boleh melemah untuk mengatakan Al-Qur’an bukanlah makhluk, karena sesungguhnya kalam Allah itu tidak terpisah dari-Nya dan tiada satu bagianpun dari-Nya yang makhluk, dan hindarilah berdebat dengan orang yang membuat perkara baru tentangnya. orang yang mengatakan lafadzku dengan Al-Qur’An adalah makhluk dan selainnya serta orang yang tawaqqkuf tentangnya, yang mengatakan “aku tidak tahu makhluk atau bukan makhluk akan tetapi dia adalah kalam Allah” karena orang ini adalah ahli bid’ah seperti orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk. sesungguhnya Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk.
14. Beriman terhadap Ru’yah (melihat Allah) pada hari kiamat sebagaimana hadits-hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
15. Dan Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah melihat Rabbnya. telah ada atsar yang shahih dari Rasulullah yang diriwayatkan dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dan diriwayatkan oleh Al-Hakkam bin Abban dan Ikrimah dari Ibnu Abbas, serta diriwayatkan oleh Ali bin Zaid dari Yusuf bin Mihran dari Ibnu Abbas. dan hadits tersebut menurut kami hendaknya ifahami sesuai dengan makna zhahirnya, sebagaimana hal itu datang dari Nabi. sebab memperdebatkan tentangnya adalah bid’ah. akan tetapi kami mengimaninya sesuai dengan makna zhahirnya sebagaimana hal tersebut datang (kepada kami) dan kami tidak memperdebatkan tentangnya dengan siapapun.
16. Beriman kepada Al-Mizan (timbangan) pada hari kiamat, sebagaimana (yang di jelaskan) dalam hadits : “Seorang hamba akan ditimbang pada hari kiamat, maka ia tidak bisa mengimbangi berat sayap seekor nyamuk” . dan juga amalan-amalan para hamba akan ditimbang sebagaimana (yang dijelaskan) dalam Atsar, mengimani membenarkannya, dan berpaling dari orang yang menolaknya serta meninggalkan perdebatan dengannya.
17. Allah akan mengajak bicara hamba-hamba-Nya pada hari kiamat tanpa ada penerjemah antara mereka dengan-Nya dan kita wajib mengimani dan membenarkannya.
18. Beriman dengan Telaga, dan bahwa Rasulullah memiliki telaga pada hari kiamat yang akan didatangi oleh umatnya, dimana luasnya sepanjang perjalanan sebulan dan bejana-bejananya sebanyak bintang-bintang dilangit. menurut riwayat-riwayat yang shahih dari beberapa jalan.
19. Beriman kepada Adzab kubur.
20. Dan bahwa ummat ini akan diuji dan ditanya didalam kuburnya tentang Iman, Islam dan siapa Rabbnya, siapa Nabinya, dan akan didatangi oleh malaikat Munkar dan Nakir sesuai dengan kehendak dan keinginan Allah. dan kita mengimani dan membenarkannya.
21. Beriman terhadap syafa’at Nabi dan suatu kaum yang yang dikeluarkan dari api neraka setelah terbakar dan menjadi arang, kemudian mereka diperintahkan menuju sungai didepan Surga sesuai dengan kehendak Allah, sebagaimana (yang dijelaskan) dalam Atsar. dan kita mengimani dan membenarkannya.
22. Beriman bahwa Al-Masih ad-Dajjal akan keluar, tertulis diantara kedua matanya “Kaafir” dan kita beriman terhadap hadits-hadits tentangnya dan bahwa hal itu pasti akan terjadi.
23. Dan bahwa Isa bin Maryam ‘Alaihissalam akan turun lalu membunuhnya di pintu Lud.
24. Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang, sebagaimana (yang dijelaskan) dalam hadits : “Orang yang paling sempurna Imannya adalah orang yang paling baik Akhlaknya”.
25. Barangsiapa yang meninggalkan Shalat maka ia telah kafir. dan tidak ada satu amalan apapun yang apabila ditinggalkan maka akan menyebabkan kekafiran melainkan shalat. maka barangsiapa yang meninggalkan maka ia telah kafir dan Allah telah menghalalkannya untuk dibunuh.
26. Sebaik-baiknya orang dari Ummat ini setelah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian Umar bin Khaththab. kemudian Utsman bin Affan, Kami mendahulukan mereka bertiga sebagaimana Para Sahabat Rasulullah mendahulukan mereka, mereka tidak berselisih pendapat tentang hal ini. kemudian setelah mereka adalah lima orang Ashaabu Asyuura’ (yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Abi Waqqash) mereka semua patut untuk menjadi khalifah, dan semuanya adalah Imam (pemimpin), kami berpendapat demikian berdasarkan hadits Ibnu Umar : “Kami menyebut secara berurutan tatkala Rasulullah masih hidup dan para sahabat masih berkumpul, yaitu : Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian kami diam … Kmudian setelah Ashaabu Asyuura’ adalah ahli badar dari kaum muhajirin, kemudian ahli badar dari kaum Anshar dari para Sahabat Rasulullah sesuai dengan kadar hijrah dan keterdahuluannya (masuk Islam).
27. Kemudian sebaik-baik manusia setelah para Sahabat adalah generasi yang Rasulullah diutus padanya. setiap orang yang bersahabat dengannya baik setahun, sebulan, sehari, sesaat atau pernah melihatnya, maka ia trmasuk dari para sahabatnya, ia memiliki keutamaan bersahabat sesuai dengan waktu persahabatannya. karena keterdahuluannya bersama beliau, telah mendengar darinya, dan melihat kepadanya. maka serendah-rendah derajat mereka masih lebih utama dibanding dengan generasi yang tidak pernah melihatnya walaupun ia berjumpa Allah dengan membawa seluruh amal (kebaikan). mereka orang-orang yang pernah ersahabat dngan Nabi, melihat dan mendengar adarinya, serta orang yang melihat dngan mata kepalanya dan beriman kepadanya walaupun sesaat masih lebih utama, dikarenakan persahabatannya dengan beliau dari pada para tabi’in walaupun mereka mengamalkan segala amal kebaikan.
28. Mendengar dan taan kepada para Imam dan pemimpin kaum Mu’minin yang baik maupun yang buruk, dan kepada khalifah yang manusia brsatu padanya dan meridhainya. dan juga kpada orang yang telah mengalahkan manusia dengan pedang (kekuatan) hingga ia menjadi khalifah dan di sebut sebagai Amirul Mukminin.
29. Perang dilakukan bersama para pemimpin yang baik maupun yang buruk, terus berlangsung sampai hari kiamat, dan tidak boleh ditinggalkan.
30. Pembagian Fa’i (harta rampasan perang dari kaum kafir tanpa terjadi peprangan) dan menegakkan hukuman-hukuman harus diserahkan kepada para Imam. tidak boleh bagi siapapun untuk mencla dan menyelisihinya.
31. Membayar Zakat/Sedekah kepada mereka (para Imam) boleh dan terlaksana. barangsiapa membayarkannya kepada mereka maka hal itu telah cukup/sah baginya, baik pemimpin itu baik maupun buruk.
32. Melaksanakan Shalat jum’at dibelakang mereka dan dibelakang orang yang menjadikan mereka sebagai pemimpin hukumnya boleh dan sempurna dua rakaat. barangsiapa yang mengulangi shalatnya maka ia adalah seorang mubtadi’ yang meninggalkan atsar-atsar dan menyelisihi Sunnah, dan tidak ada baginya sedikitpun keutamaan shalat jum’at, apabila ia tidak berpendapat bolehnya shalat dibelakang para Imam, baik pemimpin itu baik maupun buruk karena Sunnah memerintahkan agar melaksanakan shalat bersama mereka dua rakaat dan mengakui bahwa shalat itu sempurna. tanpa ada keraguan terhadap hal itu didalam hatimu.
33. Barangsiapa yang keluar (dari ketaatan) terhadap seorang pemimpin dari para pemimpin kaum Muslimin, padahal manusia telah bersatu dan mengakui kehalifahan baginya dengan cara apapun. baik dengan ridha atau dengan kemenangan (Dalam Perang), maka sungguh orang tersebut telah memecah belah persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar-atsar dari Rasulullah, dan apabila ia mati dalam keadaan demikian maka matinya seperti mati jahiliyah .
34. Tidak halal memerangi khalifah dan keluar dari ketaatan kepadanya dikarenakan seseorang, barangsiapa yang melakukan hal itu maka ia adalah seorang mubtadi’ yang bukan diatas Sunnah dan jalan( yang lurus).
35. Memerangi para pencuri dan orang-orang khawarij (yang keluar dari ketaatan kepada khalifah) maka hal ini boleh, apabila mereka telah merampas jiwa dan harta seseorang, maka bagi orang tersebut boleh memerangi mereka untuk mempertahankan jiwa dan hartanya dengan segala kemampuan. Akan tetapi ia tidak boleh mengejar dan mengikuti jejak mereka apabila mereka telah pergi dan meninggalkannya. Tidak boleh bagi siapapun kecuali Imam atau para para pemimpin Muslimin, karena hanya diperbolehkan untuk mempertahankan harta dan jiwa ditempat tinggalnya, dan berniat dengan upayanya untuk tidak membunuh seseorang. Jika ia (pencuri/khawarij) mati ditangannya dalam peperangan mempertahankan dirinya, maka Allah akan menjauhkan orang yang terbunuh (dari Rahmat-Nya). dan jika ia (yang dirampok) terbunuh dalam keadaan demikian sedang ia mempertahankan jiwa dan hartanya, maka aku berharap ia mati syahid sebagaimana (yang dijelaskan) dalam hadits-hadits. Dan seluruh atsar dalam masalah ini memerintahkan agar memeranginya dan tidak memerintahkan untuk membunuh dan mengejarnya. Dan tidak boleh membunuhnya jika ia menyerah atau terluka. Dan jika ia menawannya maka tidak boleh membunuhnya dan tidak boleh melaksanakan hukuman kepadanya akan tetapi urusannya diserahkan kepada orang yang telah dijadikan oleh Allah sebagai pemimpin, lalu (kemudian) iapun menghukuminya.
36. Kami tidak bersaksi dengan (masuk) surga atau neraka bagi siapapun dari ahli kiblat (kaum muslimin) disebabkan dari suatu amalan yang diperbuatnya. kami berharap (kebaikan) bagi orang shalih dan mengkhawatirkan (kejelekan) baginya. Kami (juga) mengkhawatirkan (kejelekan) akan menimpa orang yang buruk lagi berdosa, dan mengharapkan Rahmat Allah baginya.
37. Barangsiapa berjumpa Allah dengan membawa dosa yang menyebabkannya masuk kedalam neraka – sedang ia dalam keadaan bertaubat dan tidak berlarut-larut didalam dosa – maka sesungguhnya Allah akan mengampuninya dan menerima taubat dari hamba-hambanya serta memaafkan kesalahan-kesalahannya.
38. Barangsiapa berjumpa Allah sedangkan telah dilaksanakan hukuman dosa tersebut padanya didunia, maka ia adalah kafarahnya (penghapus dosanya). Sebagaimana (yang dijelaskan) dalam hadits Rasulullah.
39. Barangsiapa berjumpa Allah dalam kaadaan terus-menerus berbuat dosa tanpa bertobat darinya, yang mana dosa-dosa tersebut mengharuskannya disiksa, maka urusannya terserah kepada Allah. Jika Dia berkehendak, Dia akan menyiksanya dan jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya.
40. Barangsiapa berjumpa Allah dari orang kafir, niscaya Dia menyiksanya dan tidak mengampuninya.
41. (Hukuman) Rajam adalah hak bagi siapa saja yang berzina sedangkan ia telah terpelihara (menikah), bilamana ia mengaku atau terbukti atasnya.
42. Rasulullah telah (meleksanakan hukuman0 Rajam.
43. Demikian juga para Imam (pemimpin) yang lurus telah melaksanakan hukuman Rajam.
44. Barangsiapa yang mencela salah seorang Sahabat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam atau membencinya karena suatu kesalahan darinya, atau menyebutkan kejelekan-kejelekannya, maka dia adalah seorang ahli bid’ah, sehingga dia menyayangi mereka semua dan hatinya bersih dari (sikap membenci atau mencela) mereka.
45. Dan Nifak adalah kekafiran yakni kafir kepada Allah dan beribadah kepada selain-Nya, menampakkan keislaman dihadapan orang umum, seperti orang-orang munafik yang hidup dizaman Rasulullah.
46. Dan sabda Nabi : Artinya … “Tiga perkara yang barangsiapa ada pada dirinya maka ia adalah orang munafiq” dalam hadits ini sebagai ancaman yang berat, dan kami meriwayatkannya seperti apa adanya, dan kami juga tidak menafsirkannya (dengan makna lain).
47. Dan sabdanya : Artinya … “Janganlah kamu kembali menjadi orang-orang kafir yang sangat sesat sepeninggalku, sebagian kamu membunuh sebagian yang lain”. dan seperti halnya hadits Nabi : Artibya … “Apabila dua orang muslim saling berhadapan dengan mengangkat pedang, maka si pembunuh dan yang terbunuh keduanya akan masuk neraka”. dan juga seperti hadits Nabi : Artinya … ” Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran”. dan seperti juga disebutkan dalam sabda Nabi : Artinya … “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya ‘wahai kafir … maka perkataan tersebut akan kembali kepada salah satu dari keduanya”. dan juga seperti sabdanya : Artinya … “Merupakan kekafiran kepada Allah adalah berlepas diri dari nasab walaupun sekecil apapun”.
48. Dan yang semisal hadits-hadits tersebut dari apa yang benar dan terjaga. kami pasrah kepadanya walaupun tidak mengetahui tafsirnya, dan kami tidak membicarakannya dan juga tidak memperdebatkannya, dan kami (juga) tidak menafsirkan hadits-hadits ini, kecuali sebagaimana ia datang (seperti apa adanya), kami tidak menolaknya kecuali dengan apa yang lebih benar darinya.
49. Surga dan neraka adalah dua makhluk yang telah diciptakan sebagaimana sabda Rasulullah yang Artinya : … “Aku telah memasuki surga, maka melihat sebuah istana”. “dan aku telah melihat al-kautsar”. “dan aku telah melihat surga, lalu aku melihat … begini dan begitu”. maka barangsiapa yang menyangka bahwa keduanya (surga dan neraka) belum diciptakan, berarti dia telah mendustakan Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah. dan aku (Imam Ahmad bin Hambal) menyangka bahwa ia tidak beriman dengan (adanya) surga dan neraka.
50. Barangsiapa meninggal dunia dari ahli kiblat dalam keadaan bertauhid, maka ia (berhak) dishalatkan dan dimintakan ampunan baginya. Dan Istighfar (permintaan ampunan kepada Allah) tidak boleh dihalangi darinya. dan menshalati jenazahnya tidak boleh ditinggalkan disebabkan suatu dosa yang dilakukannya, baik dosa kecil maupun besar dan urusannya terserah kepada Allah.